BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gaharu merupakan produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk
gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas yang bersumber
dari kandungan bahan kimia berupa resin (α-β oleoresin). Gaharu terbentuk dalam
jaringan kayu, akibat pohon terinfeksi penyakit cendawan (fungi) yang masuk
melalui luka batang (patah cabang). Komoditas gaharu telah cukup lama dikenal
masyarakat secara umum. Beberapa jenis tanaman gaharu yang dikenal antara lain
(Aquilaria malaccensis Lamk) adalah salah satu jenis
tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena
kayunya mengandung resin yang harum baunya. Gaharu berwarna coklat kehitaman
sampai hitam, berbau harum jika dibakar. Gaharu terdapat pada bagian kayu atau
akar dari jenis pohon penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan
kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur.
Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh Masyarakat Pedalaman Sumatera dan
Kalimantan, telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Gaharu
dimanfaatkan antara lain untuk pengharum tubuh, ruangan, bahkan kosmetik dan
obat-obatan sederhana. Saat ini gaharu sangat sulit ditemukan sehingga perlu
dipertahankan dan dilestarikan agar jenis ini tidak punah. Selain mencegah
kepunahan gaharu ini, pembudidayaan juga dapat meningkatkan produksi gubal
gaharu baik secara kualitas maupun kuantitas dan ekspor gaharu dapat berjalan
dengan lancar tanpa merusak hutan alam.
1.2. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Untuk mengetahui pembuatan bibit
tumbuhan Gaharu secara kultur jaringan.
2. Menemukan kombinasi antara sumber
eksplan dan takaran zat pengatur tumbuh yang terbaik terhadap pertumbuhan
eksplan dalam menghasilkan tunas pada medium Murashige dan Skoog
(MS) secara kultur jaringan.
1.3 Manfaat
Manfaat makalah ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk perbanyakan
gaharu dalam pengadaan bibit gaharu dalam jumlah yang banyak dan relatif
singkat dan penggunaan takaran zat pengatur tumbuh yang terbaik dalam
perbanyakan tanaman gaharu.
BAB II
ISI
2.1 Botanis Gaharu (A. malaccensis Lamk)
Gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna
yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon
atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati
sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami maupun
buatan, yang pada umumnya terjadi pada pohon gaharu.
Gaharu (A. malaccensis Lamk ) dapat ditemukan
di Bangladesh, Bhutan, India,Indonesia, Iran, Laos, Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapore, dan Thailand. Gaharu hanya
diambil gubalnya yang mengeluarkan bau harum. Keharuman gubal gaharu terbentuk
oleh kayu yang mengalami pelapukan dan mengandung damar wangi (aromatic
resin) sebagai akibat serangan jamur. Dengan kata lain, gaharu atau gubal
gaharu merupakan substansi aromatik berupa gumpalan atau padatan berwarna
coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu
tersebut. Substansi aromatik yang terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk
dalam golongansesquiterpena.
Taksonomi atau klasifikasi gaharu (Aquilaria) adalah sebagai berikut
:
Kingdom :
Plantae
Divisio :
Spermatophyta
Class :
Dicotyledonae
Ordo :
Myrtales
Family :
Thymeleceae
Genus :
Aquilaria
Species : A.
malaccensis Lamk
Secara ekologis jenis-jenis gaharu di
Indonesia tumbuh di hutan primer terutama di dataran rendah, dan daerah
pegunungan sampai ketinggian 2.400 m dpl. Umumnya gaharu yang berkualitas baik
tumbuh pada daerah beriklim panas dengan suhu 28° - 34° C, kelembaban 60 – 80
%, dan curah hujan 1.000 – 2.000 mm/tahun (Sumarna, 2002 dalam Martesa
2006).
Tinggi pohon di daerah potensial, gaharu ini dapat mencapai 4 meter dengan
diameter 50 – 80 cm. Kulit batangnya licin berwarna putih atau keputih-putihan,
lurus atau kadang-kadang beralur. Kayunya agak keras, daun lonjong memanjang
dengan panjang 5 – 8 cm dan lebarnya 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna
hijau mengkilat. Bunga berada diujung ranting atau ketiak daun bagian atas dan
bawah. Buah berada di dalam polong berbentuk bulat atau lonjong, berukuran
panjang sekitar 5 cm, dan lebar 3 cm (Sumarna, 2002 dalam Martesa
2006).
2.2 Pembentukan
Gaharu
Gaharu
dihasilkan tanaman sebagai respon dari masuknya mikroba yang masuk ke dalam jaringan yang terluka. Luka pada tanaman berkayu
dapat disebabkan secara alami karena adanya cabang dahan yang patah atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan
penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai
benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
penyakit ataupatogen. Senyawa fitoaleksin tersebut dapat berupa resin berwarna coklat dan
beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain. Namun, apabila
mikroba yang menginfeksi tanaman dapat mengalahkan sistem pertahanan tanaman
maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka dapat membusuk.
Ciri-ciri bagian tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang menjadi lunak, tajuk tanaman menguning dan rontok, serta terjadi
pembengkakan, pelekukan, atau penebalan pada batang dan cabang tanaman. Senyawa
gaharu dapat menghasilkan aroma yang harum karena mengandung senyawa guia dienal, selina-dienone, dan selina dienol. Untuk kepentingan komersil, masyarakat mengebor
batang tanaman penghasil gaharu dan memasukkan inokulum cendawan ke dalamnya. Setiap spesies pohon penghasil
gaharu memilikimikroba spesifik untuk menginduksi penghasilan gaharu dalam jumlah yang
besar.
2.3 Manfaat Gaharu
Gaharu
banyak diperdagangkan dengan harga jual yang sangat tinggi. Selain ditentukan
dari jenis tanaman penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya
kandungan resin dalam
jaringan kayunya. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu
tersebut akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya.
Sampai saat ini, pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk bahan baku (kayu
bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk
produk gaharu tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda. Gaharu
mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang mengeluarkan aroma dengan
keharuman yang khas. Dari aromanya itu yang sangat popular bahkan sangat
disukai oleh masyarakat negara-negara di Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni
Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang sehingga dibutuhkan
sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet
berbagai jenis asesoris serta untuk keperluan kegiatan keagamaan. Seiringnya
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu bukan hanya
berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara klinis
dapat dimanfaatkan sebagai obat. Gaharu bisa dipakai sebagai obat: anti
asmatik, anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan ,obat sakit perut,
penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, tumor paru-paru, obat tumor
usus ,penghilang stress, gangguan ginjal, asma, hepatitis, dan untuk
kosmetik.
2.4 Kultur Jaringan
Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut dengan tissue culture,
weefsel cultuus atau gewebe kultur. Kultur jaringan merupakan salah satu
cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik
perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata
tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara
aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang
tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi
menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah
perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan
media buatan yang dilakukan di tempat steril.
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman,
khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit
yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain:
mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah
yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu
menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan
mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan
dengan perbanyakan konvensional.Pertumbuhan dan perkembangan jaringan pada
kultur diarahkan menurut tujuan yang diinginkan dengan memanipulasi komposisi
medium dan lingkungannya.
Teori yang
mendasari tehnik kultur jaringan adalah teori sel oleh Schawann dan Scheleiden
(1838) yang menyatakan sifat totipotensi ( total genetic potential)
sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi
genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang
menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai ( Yusnita, 2003).
Menurut
Santoso dan Nursandi (2003) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan kultur jaringan yaitu:
1. Genotipe
Pada
beberapa jenis tumbuhan embrio mudah tumbuh akan tetapi pada beberapa jenis
tumbuhan lain sukar untuk tumbuh. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kultivar
dari jaringan yang sama.
2. Komposisi
media makanan
Media untuk pertumbuhan embrio
harus mengandung unsur hara makro, unsur hara mikro dan gula. Faktor penting
lainnya yang tidak boleh diabaikan adalah adanya ion ammonium dan
potassium.
3. Oksigen
Suplai
oksigen yang cukup sangat menentukan laju multiplikasi tunas dalam usaha
perbanyakan secara In vitro.
4. Cahaya
Kadang-kadang untuk
perkembangan embrio membutuhkan tempat gelap kira-kira selama 7-14 hari. Baru
dipindah ke tempat terang untuk pembentukan klorofil.
5. Temperatur
Temperatur optimum yang
dibutuhkan umumnya tergantung dari jenis tumbuhan yang digunakan. Secara normal
temperatur yang digunakan adalah antara 220° C-280° C.
6. Lingkungan
yang aseptik
Kondisi lingkungan sangat
menentukan terhadap tingkat keberhasilan pembiakan tanaman dengan kultur
jaringan.
Selain suhu,
kelembaban dan cahaya, Pierik (1982) menambahkan kondisi fisik yang paling baik
dalam kultur jaringan adalah pH. pH pada media makanan pengaruhnya belum
diketahui. Dapat dipakai pH antara 5,0 - 6,5. Sedangkan menurut Wetherell
(1976) bahwa sel-sel tanaman yang ditumbuhkan secara in vitro mempunyai
toleransi pH relatif sempit, dengan titik optimum antara pH 5,0 dan 6,0.
2.5 Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik yang bukan nutrisi tanaman
yang dalam jumlah kecil atau konsentrasi rendah akan merangsang dan mengadakan
modifikasi secara kualitatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Penggunaan zat pengatur tumbuh bila digunakan dengan konsentrasi rendah
akan merangsang pertumbuhan tanaman, dan sebaliknya bila digunakan dalam jumlah
besar/konsentrasi tinggi akan menghambat pertumbuhan bahkan dapat mematikan
tanaman. Beberapa zat pengatur tumbuh yang dikenal adalah :
1. Auksin : salah
satu hormon tumbuh yang tidak terlepas dari proses pertumbuhan dan perkembangan
suatu tanaman.
2. Sitokinin : zat
pengatur tumbuh ini mempunyai peranan dalam proses pembelahan sel
3. Gibberelin : hormon tumbuh pada
tanaman sangat berpengaruh pada sifat genetik, yang mempunyai peranan dalam
mendukung perpanjangan sel, aktivitas kambium dalam mendukung pembentukan RNA
baru serta sintesa protein.
4. Etilen : hormon
tumbuh yang secara umum berlainan dengan auksin, giberelin, dan sitokinin.
Etilen mempunyai peranan penting dalam proses pematangan buah
5. Inhibitor :
zat yang menghambat pertumbuhan pada tanaman, sering didapat pada proses
perkecambahan, pertumbuhan pucuk atau dalam dormansi.
Zat pengatur tumbuh sangat diperlukan sebagai komponen medium bagi
pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh di dalam
medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali.
Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari
zat pengatur tumbuh tersebut.
Pada umumnya zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam kultur
jaringan adalah dari golongan auksin dan sitokinin. Auksin adalah senyawa yang
dicirikan oleh kemampuan dalam mendukung terjadinya perpanjangan sel pada
pucuk, dengan struktur kimia yang dicirikan dengan adanya cincin indole. Auksin
sebagai salah satu hormon tumbuhan bagi tanaman mempunyai peranan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dimana hormon tumbuh ini berpengaruh
terhadap perpanjangan sel, menghambat pertumbuhan tunas ketiak (lateral),
merangsang pembelahan sel pada daerah kambium serta mempercepat pertumbuhan
akar (Heddy, 1986).
Auksin sintetik yang sering digunakan adalah Naptalene Acetic Acid (NAA)
karena lebih tahan dan stabil. Pada penelitian Martesa (2006) dengan pemberian
NAA 0,175 mg/l + 5,0 mg/l BAP pada medium MS ada beberapa yang belum mengalami
pembentukan kalus, hal ini diduga karena konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA
yang kurang optimal dari media tersebut. Sedangkan pada penelitian Agustunine
(1999) melaporkan bahwa pada tanaman Gmelina arborea Linn
konsentrasi yang terbaik bagi pertumbuhannya adalah NAA 0,05 mg/l + BAP 0,25
mg/l. NAA dari golongan ini telah digunakan secara luas untuk menginduksi kalus
baik gymnospermae dan angiospermae. Perakaran
umumnya diinduksi dari kalus karena peranan hormon NAA ini. 6-Benzylaminopurin (BAP)
adalah sitokinin sintetis, dimana struktur kimianya sama dengan kinetin tetapi
lebih efektif. BAP digunakan untuk pembentukan kalus, tetapi yang paling baik
adalah untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan dari tunas. BAP juga sedikit
menginduksi perakaran. Menurut Raharja (1993), sitokinin termasuk hormon
yang dapat mempengaruhi pembelahan sel pada jaringan tanaman yang ditumbuhkan
pada media buatan. Perlu diketahui bahwa dalam beberapa keadaan
pembentukan akar akan mengikuti pembentukan tunas, tetapi BAP dengan
konsentrasi yang tinggi dan masa yang panjang seringkali menyebabkan regenerasi
tanaman sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan pucuk abnormal. Menurut
Pierik (1987) , BAP dalam konsentrasi tinggi (1-10 mg/l) dapat menginduksi
tunas. Penelitian Duma (1995) hanya menghasilkan kalus dari eksplan
kotyledon A. mangium dengan penambahan 0,01 mg/l NAA dan 5
mg/l BAP. Sedangkan Martesa (2006) melaporkan pembentukan kalus baru
dan tunas pada gaharu dengan penambahan 0,175 mg/l NAA dan 5,0 mg/l
BAP .
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) dalam pertumbuhan jaringan tanaman,
sitokinin berpengaruh terutama pada pembentukan sel. Bersama-sama dengan auksin
memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi jaringan. Pada pemberian
auksin dengan kadar yang relatif tinggi diferensiasi kalus cenderung ke arah
pembentukan akar, sedangkan pada pemberian sitokinin dengan kadar yang relatif
tinggi perkembangan kalus akan cenderung ke arah pembentukan batang dan tunas.
Sumber Eksplan
Eksplan adalah bahan tanaman yang digunakan dalam kulturisasi.
Eksplan ini menjadi bahan dasar dalam pembentukan tunas. Bagian
tanaman yang bersifat meristematik antara lain terdapat pada ujung batang
dikenal dengan meristem apikal, sedangkan meristem yang terdapat pada kuncup di
ketiak daun disebut meristem aksiler. Bagian tanaman yang dapat digunakan
sebagai eksplan adalah kotiledon, daun, akar, tunas pucuk, empulur batang,
potongan batang satu buku, umbi lapis, dan bagian bunga (Indrianto dalam Ike
Martesa 2006) . Menurut Yusrianti (2002) sumber eksplan yang terbaik adalah
berasal dari pucuk yang mampu menginduksi kalus ulin paling cepat dibandingkan
dengan sumber eksplan batang. Selanjutnya Asnawati (1998) menyatakan sumber
eksplan terbaik adalah berasal dari apeks dalam pembentukan tunas Accacia
mangium Wild. Menurut Irawati (2005) dalam kultur pucuk biasanya media
mengandung auksin dan sitokinin dengan konsentrasi sitokinin lebih tinggi dari
auksin karena sitokinin dapat mengatasi kemunduran daya tumbuh apabila
pertumbuhan terganggu.
Pemgambilan
bahan tanaman dapat langsung dari tanaman dewasa yaitu pada bagian pucuk
tanaman, daun dan umbi. Cara ini membutuhkan waktu yang cepat, disamping itu
bahan eksplan dapat diambil dari tanaman hasil seedling, biji yang akan ditanam
adalah biji yang cukup tua dan sebaiknya jangan mengambil yang telah dijual
dipasaran, supaya hasil yang diperoleh dijamin kualitasnya. Biji yang digunakan
langsung dipetik dari pohon induknya atau yang dijual dibalai benih
(berserikat) tempat penanaman menggunakan pot, setelah tumbuh tanaman tersebut
dapat dipotong menjadi bahan eksplan.
2.7 Konsep Pengambilan Ekplan
Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas,
serta memiliki kandungan kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian
pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat
dari proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon
tersebut, dan pada umumnya terjadi pada pohon A. malaccensis Lamk.
Karena nilai jual gaharu yang tinggi, permintaaan pasar akan gaharu terus
meningkat. Oleh karena itu upaya pembudidayaaan gaharu perlu dilakukan.
Salah satu upaya pembudidayaan dalam perbanyakan tanaman gaharu adalah
dengan teknik kultur jaringan. Pada kultur jaringan bahan tanaman dan zat
pengatur tumbuh merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis
suatu kultur, dimana untuk tumbuh dan berkembang diperlukan jaringan yang
sedang aktif tumbuh, nutrisi dan hormon yang cukup untuk merangsang pembelahan
dan diferensiasi sel. Eksplan dapat diambil dari semua bagian tanaman
seperti pucuk, daun, cabang, batang, petiol, akar, biji, embrio, tunas,
kambium, epikotil, kotiledon, hipokotil, meristem apikal, bunga, serbuk sari,
buah termasuk bakal buah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Eksplan yang
berasal dari bagian yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda pula
terhadap pengerjaan yang dilakukan, karena setiap bagian dari tubuh tumbuhan
memiliki sifat, bentuk serta susunan jaringan dan kandungan hormon untuk mendorong
pertumbuhan yang berbeda, sehingga dalam penggunaanya akan menghasilkan
pertumbuhan dan perkembangan yang berlainan.
Pada dasarnya setiap jaringan yang sedang mengalami pertumbuhan terhadap
zat pengatur tumbuh dalam kadar tertentu yang berbeda untuk masing-masing
bagian tanaman. Seringkali penambahan zat pengatur tumbuh dari luar diperlukan
dengan konsentrasi tertentu untuk mencukupi kebutuhan zat tumbuh yang tidak
terpenuhi secara endogen. Penambahan zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi
yang sama dapat memberikan pertumbuhan yang berlainan pada tiap bagian tanaman.
Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan pada media
dan yang diproduksi oleh sel secara endogen tersebut akan menentukan arah
perkembangan eksplan.
Keseimbangan kombinasi antara auksin (NAA) dan sitokinin (BAP) juga
mempengaruhi perkembangan dari eksplan. Kombinasi sitokinin dan auksin pada
setiap tanaman berbeda-beda tergantung pertumbuhannya serta faktor lain yang
mempengaruhi eksplan. Pada sebagian besar tanaman pemberian sitokinin dalam
konsentrasi yang lebih tinggi dari pada auksin akan mendorong pembentukan
tunas, sedangkan pemberian auksin dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada
sitokinin akan mendorong pembentukan akar
Berdasarkan pemikiran di atas, maka dalam penelitian ini digunakan eksplan
yang berasal dari batang dan pucuk serta 5 kombinasi konsentrasi zat pengatur
tumbuh yaitu NAA dan BAP, sehingga dimungkinkan untuk mengetahui perkembangan
jenis (A. malaccensis Lamk) secara kultur jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan
Standar-disasi Nasional (BSN). 1999
Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan
Pemanfaatan. Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram
tanggal 4 – 5 September 2001
Santoso, U. dan Nursandy,
F..2004. Kultur Jaringan Tanaman. Edisi II. Universitas Muhamadyah Malang
Press. Malang.
Standar
Nasional Indonesia. 1999. Gaharu. Jakarta. Diakses dari http://www.bpdas
musi.net/_userdata/BkGaharu.pdf.
No comments:
Post a Comment