BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi
di dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor Karet Indonesia
selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton
pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton
pada tahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004
mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas.
Sejumlah lokasi di Indonesia memiliki keadaan lahan yang
cocok untuk pertanaman karet, sebagian besar berada di wilayah Sumatera dan
Kalimantan. Luas area perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih
dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya
85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar
negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara
nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton.
Jumlah ini masih akan bisa ditingkatkan lagi dengan memberdayakan lahan-lahan
pertanian milik petani dan lahan kosong/tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan
karet.
Dengan memperhatikan adanya peningkatan permintaan dunia
terhadap komoditi karet ini dimasa yang akan datang, maka upaya untuk
meningkatakan pendapatan petani melalui perluasan tanaman karet dan
peremajaaan kebun bisa merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan. Guna
mendukung hal ini, perlu diadakan bantuan yang bisa memberikan modal bagi
petani atau perkebun swasta untuk membiayai pembangunan kebun karet dan
pemeliharaan tanaman secara intensif.
1.2 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui semua hal tentang karet, mulai dari persyaratan
pertumbuhan karet, pemeliharaan tanaman karet, dan penyadapan karet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Syarat
Tumbuh Tanaman Karet
Iklim
Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah
pada zone antara 150 LS dan 150 LU. Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak
terhambat sehingga memulai produksinya juga terlambat (Suhendry, I. 2002).
Suhu yang dibutuhkan untuk tanaman karet 25° C
sampai 35 ° C dengan suhu optimal rata-rata 28° C. Dalam sehari tanaman karet
membutuhkan intensitas matahari yang cukup antara 5 sampai 7 jam (Santosa.
2007.).
Curah Hujan
Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal
antara 2.500 mm sampai 4.000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd.
150 HH/tahun. Namun demikian, jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan
berkurang (Radjam, Syam. 2009.).
Ketinggi Tempat
Pada dasarnya tanaman karet tumbuh optimal pada
dataran rendah dengan ketinggian 200 m dari permukaan laut. Ketinggian > 600
m dari permukaan laut tidak cocok untuk tumbuh tanaman karet (Nazaruddin dan
F.B. Paimin. 1998.).
Angin
Angin juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman
karet. Angin yang kencang dapat mengakibatkan kerusakan tanaman karet yang
berasal dari klon-klon tertentu dalam berbagai jenis tanah, baik pada tanah
latosol, podsolik merah kuning, vulkanis bahkan pada tanah gambut sekalipun
(Maryadi. 2005).
Kecepatan angin yang terlalu kencang pada
umumnya kurang baik untuk penanaman karet Untuk lahan kering/darat tidak susah
dalam mensiasati penanaman karet, akan tetapi untuk lahan lebak perlu adanya
trik-trik khusus untuk mensiasati hal tersebut. Trik-trik tersebut antara lain
dengan pembuatan petak-petak guludan tanam, jarak tanam dalam barisan agar
lebih diperapat. Metode ini dipakai berguna untuk memecah terpaan angin
(Deptan. 2006.).
Tanah
Lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet
pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat
kimianya. Hal ini disebabkan perlakuan kimia tanah agar sesuai dengan syarat
tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan
perbaikan sifat fisiknya (Aidi dan Daslin, 1995).
Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat
tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut
< 2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama
struktur,btekstur, sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi
sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah
alluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan
aerasenya kurang baik. Reaksi tanah berkisar antara pH 3, 0 – pH 8,0 tetapi
tidak sesuai pada pH < 3,0 dan > pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok
untuk tanaman karet pada umumnya antara lain :
v Sulum
tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas
v Tekstur
tanah remah, poreus dan dapat menahan air
v Struktur
terdiri dari 35% liat dan 30% pasir
v Kandungan
hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro
v Reaksi
tanah dengan pH 4,5 – pH 6,5
v Kemiringan
tanah < 16% dan
v Permukaan
air tanah < 100 cm
2.2 Pemeliharaan
Tanaman Karet
Pemeliharaan yang umum dilakukan pada
perkebunan tanaman karet meliputi pengendalian gulma, pemupukan dan
pemberantasan penyakit tanaman (Deptan, 2006).
Pengendalian Gulma
Areal pertanaman karet, baik tanaman belum
menghasilkan (TBM) maupun tanaman sudah menghasilkan (TM) harus bebas dari
gulma seperti alang alang,Mekania, Eupatorium, dll sehingga tanaman
dapat tumbuh dengan baik (Maryadi, 2005).
Program Pemupukan
Selain pupuk dasar yang telah diberikan pada
saat penanaman, program pemupukan secara berkelanjutan pada tanaman karet harus
dilakukan dengan dosis yang seimbang dua kali pemberian dalam setahun. Jadwal
pemupukan pada semeseter I yakni pada Januari/Februari dan pada semester II
yaitu Juli/Agustus. Seminggu sebelum pemupukan, gawangan lebih dahulu digaru
dan piringan tanaman dibersihkan. Pemberian SP-36 biasanya dilakukan dua minggu
lebih dahulu dari Urea dan KCl. Sementara itu untuk tanaman kacangan penutup
tanah, diberikan pupuk RP sebanyak 200 kg/ha, yang pemberiannya dapat
dilanjutkan sampai dengan tahun ke-2 (TBM-2) apabila pertumbuhannya kurang baik
(Nazaruddin dan Paimin, 1998).
Pemberantasan Penyakit Tanaman
Penyakit karet sering menimbulkan kerugian
ekonomis di perkebunan karet. Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya berupa
kehilangan hasil akibat kerusakan tanaman, tetapi juga biaya yang dikeluarkan
dalam upaya pengendaliannya. Oleh karena itu langkah-langkah pengendalian
secara terpadu dan efisien guna memperkecil kerugian akibat penyakit tersebut
perlu dilakukan. Lebih 25 jenis penyakit menimbulkan kerusakan di perkebunan
karet. Penyakit tersebut dapat digolongkan berdasarkan nilai kerugian ekonomis
yang ditimbulkannya. Penyakit tanaman karet yang umum ditemukan pada perkebunan
adalah :
a. Jamur Akar Putih (Rigidoporus
microporus)
Penyakit akar putih disebabkan oleh jamur
Rigidoporus microporus (Rigidoporus lignosus). Penyakit ini mengakibatkan
kerusakan pada akar tanaman. Gejala pada daun terlihat pucat kuning dan tepi
atau ujung daun terlipat ke dalam. Kemudian daun gugur dan ujung ranting
menjadi mati. Ada kalanya terbentuk daun muda, atau bunga dan buah lebih awal.
Pada perakaran tanaman sakit tampak benang-benang jamur berwarna putih dan agak
tebal (rizomorf). Jamur kadang-kadang membentuk badan buah mirip topi berwarna
jingga kekuning-kuningan pada pangkal akar tanaman. Pada serangan berat, akar
tanaman menjadi busuk sehingga tanaman mudah tumbang dan mati. Kematian tanaman
sering merambat pada tanaman tetangganya. Penularan jamur biasanya berlangsung
melalui kontak akar tanaman sehat ke tunggultunggul, sisa akar tanaman atau
perakaran tanaman sakit. Penyakit akar putih sering dijumpai pada tanaman karet
umur 1-5 tahun terutama pada pertanaman yang bersemak, banyak tunggul atau sisa
akar tanaman dan pada tanah gembur atau berpasir. Pengobatan tanaman sakit
sebaiknya dilakukan pada waktu serangan dini untuk mendapatkan keberhasilan
pengobatan dan mengurangi resiko kematian tanaman. Bila pengobatan dilakukan
pada waktu serangan lanjut maka keberhasilan pengobatan hanya mencapai di bawah
80%. Cara penggunaan dan jenis fungisida anjuran yang dianjurkan adalah :
Pengolesan : Calixin
CP, Fomac 2, Ingro Pasta 20 PA dan Shell CP.
Penyiraman : Alto
100 SL, Anvil 50 SC, Bayfidan 250 EC, Bayleton 250 EC, Calixin 750 EC, Sumiate
12,5 WP dan Vectra 100 SC.
Penaburan : Anjap
P, Biotri P, Bayfidan 3 G, Belerang dan Triko SP+
b. Kekeringan
Alur Sadap (Tapping Panel Dryness, Brown Bast)
Penyakit kekeringan alur sadap mengakibatkan
kekeringan alur sadap sehingga tidak mengalirkan lateks, namun penyakit ini
tidak mematikan tanaman. Penyakit ini disebabkan oleh penyadapan yang terlalu
sering, terlebih jika disertai dengan penggunaan bahan perangsang lateks
ethepon. Adanya kekeringan alur sadap mula-mula ditandai dengan tidak
mengalirnya lateks pada sebagian alur sadap. Kemu-dian dalam beberapa minggu
saja kese-luruhan alur sadap ini kering tidak me-ngeluarkan lateks. Bagian yang
kering akan berubah warnanya menjadi cokelat karena pada bagian ini terbentuk
gum (blendok). Kekeringan kulit tersebut dapat meluas ke kulit lainnya yang
seumur, tetapi tidak meluas dari kulit perawan ke kulit pulihan atau
sebaliknya. Gejala lain yang ditimbulkan penyakit ini adalah terjadinya
pecah-pecah pada kulit dan pembengkakan atau tonjolan pada batang tanaman.
Pengendalian penyakit ini dilakukan dengan:
Menghindari penyadapan yang terlalu sering dan
mengurangi pemakaian Ethepon terutama pada klon yang rentan terhadap kering
alur sadap yaitu BPM 1, PB 235, PB 260, PB 330, PR 261 dan RRIC 100. Bila
terjadi penurunan kadar karet kering yang terus menerus pada lateks yang
dipungut serta peningkatan jumlah pohon yang terkena kering alur sadap sampai
10% pada seluruh areal, maka penyadapan diturunkan intensitasnya dari 1/2S d/2
menjadi 1/2S d/3 atau 1/2S d/4, dan penggunaan Ethepon dikurangi atau
dihentikan untuk mencegah agar pohon-pohon lainnya tidak mengalami kering alur
sadap. Pengerokan kulit yang kering sampai batas 3-4 mm dari kambium dengan
memakai pisau sadap atau alat pengerok. Kulit yang dikerok dioles dengan bahan
perangsang pertumbuhan kulit NoBB atau Antico F-96 sekali satu bulan dengan 3
ulangan. Pengolesan NoBB harus diikuti dengan penyemprotan pestisida Matador 25
EC pada bagian yang dioles sekali seminggu untuk mencegah masuknya kumbang
penggerek. Penyadapan dapat dilanjutkan di bawah kulit yang kering atau di
panel lainnya yang sehat dengan intensitas rendah (1/2S d/3 atau 1/2S d/4).
Hindari penggunaan Ethepon pada pohon yang kena kekeringan alur sadap. Pohon
yang mengalami kekeringan alur sadap perlu diberikan pupuk ekstra untuk
mempercepat pemulihan kulit (Aidi dan Daslin, 1995).
2.3 Kriteria
Bidang Sadap
Tanaman karet siap sadap bila sudah matang
sadap pohon. Matang sadap pohon tercapai apabila sudah mampu diambil lateksnya
tanpa menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan dan kesehatan tanaman.
Kesanggupan tanaman untuk disadap dapat ditentukan berdasarkan “umur dan lilit
batang”. Diameter untuk pohon yang layak sadap sedikitnya 45 cm diukur 100 cm
dari pertautan sirkulasi dengan tebal kulit minimal 7 mm dan tanaman tersebut
harus sehat. Pohon karet biasanya dapat disadap sesudah berumur 5-6 tahun.
Semakin bertambah umur tanaman semakin meningkatkan produksi lateksnya
(Santosa, 2007).
Mulai umur 16 tahun produksi lateksnya dapat
dikatakan stabil sedangkan sesudah berumur 26 tahun produksinya akan menurun.
Penyadapan dilakukan dengan memotong kulit pohon karet sampai batas kambium
dengan menggunakan pisau sadap. Jika penyadapan terlalu dalam dapat
membahayakan kesehatan tanaman, dan juga untuk mempercepat kesembuhan luka
sayatan maka diharapkan sadapan tidak menyentuh kayu (xilem) akan tetapi paling
dalam 1,5 mm sebelum kambium (Radjam, 2009).
Sadapan dilakukan dengan memotong kulit kayu
dari kiri atas ke kanan bawah dengan sudut kemiringan 30˚ dari horizontal
dengan menggunakan pisau sadap yang berbentuk V. Semakin dalam sadapan akan
menghasilkan banyak lateks. Pada proses penyadapan perlu dilakukan pengirisan.
Bentuk irisan berupa saluran kecil, melingkar batang arah miring ke bawah..
Melalui saluran irisan ini akan mengalir lateks selama 1-2 jam. Sesudah itu
lateks akan mengental. Lateks yang yang mengalir tersebut ditampung ke dalam
mangkok aluminium yang digantungkan pada bagian bawah bidang sadap. Sesudah
dilakukan sadapan, lateks mengalir lewat aluran V tadi dan menetes tegak lurus
ke bawah yang ditampung dengan wadah (Anwar, 2001).
2.4 Waktu
Penyadapan
Waktu penyadapan yang baik adalah jam 5.00 –
7.30 pagi dengan dasar pemikirannya: Jumlah lateks yang keluar dan kecepatan
aliran lateks dipengaruhi oleh tekanan turgor sel
Tekanan turgor mencapai maksimum pada saat
menjelang fajar, kemudian menurun bila hari semakin siang.
Pelaksanaan penyadapan dapat dilakukan dengan
baik bila hari sudah cukup terang (Nazaruddin dan Paimin, 1998).
Tanda-tanda kebun mulai disadap adalah umur
rata-rata 6 tahun atau 55% dari areal 1 hektar sudah mencapai lingkar batang 45
Cm sampai dengan 50 Cm. Disadap berselang 1 hari atau 2 hari setengah lingkar
batang, denga sistem sadapan/rumus S2-D2 atau S2-D3 hari (Maryadi, 2005).
Waktu bukaan sadap adalah 2 kali setahun yaitu,
pada (a) permulaan musim hujan (Juni) dan (b) permulaan masa intensifikasi
sadapan (bulan Oktober). Oleh karena itu, tidak secara otomatis tanaman yang
sudah matang sadap lalu langsung disadap, tetapi harus menunggu waktu tersebut
di atas tiba (Anwar, 2001).
2.5 Bagian-Bagian Tanaman Karet yang Disadap
Tanaman karet siap sadap bila sudah matang
sadap pohon. Matang sadap pohon tercapai apabila sudah mampu diambil lateksnya
tanpa menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan dan kesehatan tanaman.
Kesanggupan tanaman untuk disadap dapat ditentukan berdasarkan “umur dan lilit
batang”. Diameter untuk pohon yang layak sadap sedikitnya 45 cm diukur 100 cm
dari pertautan sirkulasi dengan tebal kulit minimal 7 mm dan tanaman tersebut
harus sehat. Pohon karet biasanya dapat disadap sesudah berumur 5-6 tahun.
Semakin bertambah umur tanaman semakin meningkatkan produksi lateksnya. Mulai
umur 16 tahun produksi lateksnya dapat dikatakan stabil sedangkan sesudah
berumur 26 tahun produksinya akan menurun (Santosa, 2007).
Penyadapan dilakukan dengan memotong kulit
pohon karet sampai batas kambium dengan menggunakan pisau sadap. Jika
penyadapan terlalu dalam dapat membahayakan kesehatan tanaman, dan juga untuk
mempercepat kesembuhan luka sayatan maka diharapkan sadapan tidak menyentuh
kayu (xilem) akan tetapi paling dalam 1,5 mm sebelum cambium (Aidi dan Daslin,
1995).
Sadapan dilakukan dengan memotong kulit kayu
dari kiri atas ke kanan bawah dengan sudut kemiringan 30˚ dari horizontal
dengan menggunakan pisau sadap yang berbentuk V. Semakin dalam sadapan akan menghasilkan
banyak lateks. Pada proses penyadapan perlu dilakukan pengirisan. Bentuk irisan
berupa saluran kecil, melingkar batang arah miring ke bawah.. Melalui saluran
irisan ini akan mengalir lateks selama 1-2 jam. Sesudah itu lateks akan
mengental. Lateks yang yang mengalir tersebut ditampung ke dalam mangkok
aluminium yang digantungkan pada bagian bawah bidang sadap. Sesudah dilakukan
sadapan, lateks mengalir lewat aluran V tadi dan menetes tegak lurus ke bawah
yang ditampung dengan wadah (Maryadi, 2005).
2.6 Pemulihan
Bidang Sadap
Lateks adalah getah seperti susu dari banyak
tumbuhan yang membeku ketika terkena udara. Ini merupakan emulsi kompleks yang
mengandung protein, alkaloid, pati, gula, minyak, tanin, resin, dan gom. Pada
banyak tumbuhan lateks biasanya berwarna putih, namun ada juga yang berwarna
kuning, jingga, atau merah Untuk memperoleh hasil sadap yang baik, penyadapan
harus mengikuti aturan tertentu agar diperoleh hasil yang tinggi,
menguntungkan, serta berkesinambungan dengan tetap memperhatiakan faktor
kesehatan tanaman agar tanaman dapat berproduksi secara optimal dan dalam waktu
yang lama (Siregar, 1995).
Dalam praktiknya untuk kelangsungan produksi,
hal yang sangat mendasar adalah di dalam pemulihan bidang sadap. Agar bidang
sadap dapat kembali pulih tentu ada yang dipelukan di dalam penyadapanya.
Menghindari penggunaan Ethepon pada pohon yang kena kekeringan alur sadap
adalahsalah satu cara agar bidang sadp dapat kembali pulih dan pohon yang
mengalami kekeringan alur sadap perlu diberikan pupuk ekstra untuk mempercepat
pemulihan kulit (Santosa, 2007 ).
Memperistirahtkan tanaman dalam waktu tertentu
juga merupakan konsep pemulihan bidang sadap, karena tanaman akan
mengoptimalakan kembali bagian-bagian tanaman yang telah mengalami pelukaan.
Begitu juga dengan pemberian unsur hara untuk kelnjutan tanaman itu sendiri
sehingga pertumbuhanya akan lebih optimal tentunya pemulihan bagian-bagian yang
disadap
(Nazaruddin dan Paimin, 1998).
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Karet adalah polimer hidrokarbon yang terkandung pada lateks beberapa jenis tumbuhan. Sumber
utama produksi karet dalam perdagangan internasional adalah para atau Hevea
brasiliensis (suku Euphorbiaceae). Rendahnya produktivitas kebun
karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tua, rusak dan tidak produktif,
penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang menyerupai
hutan.
3.2 Saran
Negara Indonesia sebagai salah satu penghasil karet di dunia
perlu membudidayakan tanaman karet, sehingga dapat tetap menjadi komoditas
ekspor utama Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan peremajaan terhadap
tanaman karet.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, C., 2001. Manajemen dan Teknologi
Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet. Medan.
Aidi dan Daslin., 1995. Pengelolaan Bahan Tanam
Karet. Pusat Penelitian Karet. Balai Penelitian Sembawa. Palembang.
Deptan., 2006. Basis Data Statistik Pertanian (http://www.database.deptan.go.id/). Diakses
tanggal 5 Mei 2009.
Maryadi., 2005. Manajemen Agrobisnis Karet. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Nazaruddin dan F.B. Paimin., 1998. Karet.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar, T.H.S., 1995. Teknik Penyadapan Karet.
Kanisius, Yogyakarta.
Suhendry, I., 2002. Kajian finansial penggunaan
klon karet unggul generasi IV. Warta Pusat Penelitian Karet. 21 : 1- 3.
No comments:
Post a Comment