“PENINGKATAN
KUALITAS PEMBELAJARAN
MATA KULIAH PSIKOLOGI UMUM DENGAN MODEL LESSON STUDY
PADA PROGRAM STUDI PGSD FKIP-UMS”
MATA KULIAH PSIKOLOGI UMUM DENGAN MODEL LESSON STUDY
PADA PROGRAM STUDI PGSD FKIP-UMS”
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran di Perguruan Tinggi khususnya Mata Kuliah Psikologi Umum banyak
faktor yang harus diperhatikan, misalnya; dosen, mahasiswa, sarana dan
prasarana, laboratorium dan kelengkapannya, lingkungan dan manajemennya, serta
model pembelajarannya. Peningkatan kualitas pembelajaran dosen dengan model
pembelajaran inovatif (inovative teaching modelling) pada program studi
PGSD-FKIP-UMS akan berpengaruh pada prestasi akademik mahasiswa (calon guru)
dan selanjutnya akan berimplikasi pada peningkatan kualitas pendidikan
Indonesia yang sekarang ini kualitas pendidikan Indonesia berada pada posisi
sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan kualitas pendidikan di negara
lain.
Balitbang (2003) mencatat bahwa dari
146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan
dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia ternyata juga hanya 8 yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori
The Middle Years Program (MYP), dan dari 8.036 SMA ternyata hanya 7 sekolah
saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Khusus kualitas guru (2002-2003) data guru yang layak mengajar, untuk SD hanya
21,07 % (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12 % (negeri) dan 60,09 %
(swasta), untu SMA 65,29 % (negeri) dan 64,73 % (swasta), serta untuk SMK
55,49% (negeri) dan 58,26 % (swasta). Sedangkan data siswa menurut Trends in
Mathematic and Science Study 2003/2004 mencatat bahwa siswa Indonesia (SD)
hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan
di ranking 37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam skala
Internasional menurut Bank Dunia, Study IFA di Asia Timur menunjukkan
ketrampilan membaca siswa kelas IV SD Indonesia berada pada tingkat rendah
apabila dibandingkan dengan Negara lain yaitu Hongkong 75,5%, Singapura 74 %,
Thailand 65,1 %, sedangkan Indonesia berada pada posisi 51,7 %. (dalam Laporan
Penelitian Tjipto Subadi, 2009: 50-51).
Data-data tersebut di atas maknanya
terdapat masalah-masalah dalam sistem pendidikan Indonesia. Pertama; masalah mendasar
yakni kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari keseluruhan
penyelenggaraan sistem pendidikan. Kedua; masalah-masalah yang berkaitan dengan
pendekatan dan metode pembelajaran. Ketiga; masalah lain yang berkaitan dengan
aspek praktis/teknis penyelenggaraan pendidikan misalnya; biaya pendidikan,
sarana fisik, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya kualitas guru dan
rendahnya prestasi siswa, dan sebagainya.
Upaya pemerintah meningkatkan mutu
pendidikan, pada tahun 2005 pemerintah dan DPR RI telah mensyahkan
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang ini
menuntut penyesuaian penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan guru/dosen agar
guru/dosen menjadi profesional. Di satu pihak, pekerjaan sebagai guru/dosen
akan memperoleh penghargaan yang lebih tinggi, tetapi di pihak lain pengakuan
tersebut mengharuskan guru/dosen memenuhi sejumlah persyaratan agar mencapai
standar minimal seorang profesional. Pengakuan terhadap guru/dosen sebagai
tenaga profesional akan diberikan manakala guru/dosen telah memiliki antara
lain kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik yang
dipersyaratkan (Pasal 8). Kualifikasi akademik tersebut harus “diperoleh
melalui pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat” (Pasal 9). Sertifikat
pendidik diperoleh guru setelah mengikuti pendidikan profesi (Pasal 10 ayat
(1)). Adapun jenis-jenis kompetensi yang dimaksud pada Undang-undang tersebut
meliputi, Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial,
Kompetensi Profesi (Pasal 10 ayat (1)).
Lesson study yang dimaksud dalam kajian ini merupakan proses pelatihan dosen yang bersiklus, diawali dengan seorang dosen:
Lesson study yang dimaksud dalam kajian ini merupakan proses pelatihan dosen yang bersiklus, diawali dengan seorang dosen:
1. Merencanakan perkuliahan melalui
eksplorasi akademik terhadap materi ajar dan alat-alat pelajaran;
2. Melakukan perkuliahan berdasarkan
rencana dan alat-alat pelajaran yang dibuat, mengundang sejawat untuk
mengobservasi;
3. Melakukan refleksi terhadap perkuliahan tadi
melalui tukar pandangan, ulasan, dan diskusi dengan para observer.
4. Oleh karena itu, implementasi
program lesson study perlu dimonitor dan dievaluasi sehingga akan diketahui
bagaimana keefektifan, keefisienan dan perolehan pihak-pihak yang terlibat di
dalamnya.
Rood map penelitian dengan
menggunakan lesson study sebagai model pembelajaran terdapat berbagai variasi
pelaksanaan lesson study. Lewis (2002) menyarankan ada enam tahapan dalam awal
mengimplementasikan lesson study di sekolah, yakni (1) membentuk kelompok
lesson study (2) memfokuskan lesson study (3) menyusun rencana pembelajaran (4)
melaksanakan pembelajaran di kelas dan mengamatinya (observasi) (5) refleksi
dan menganalisis pembelajaran yang telah dilaksanakan (6) merencanakan
pembelajaran tahap selanjutnya. Sementara itu, Richardson (2006) menyarankan 7
tahap lesson study untuk meningkatkan kualitas guru (yang masih mirip dengan
Lewis) yakni (1) membentuk tim lesson study (2) memfokuskan lesson study (3)
merencanakan pembelajaran (4) persiapan untuk observasi (5) melaksanakan
pembelajaran dan observasinya (6) melaksanakan diskusi pembelajaran yang telah
dilaksanakan (refleksi) (7) merencanakan pembelajaran untuk tahap selanjutnya.
(Sukirman: 2006: 7)
Penelitian Sagor (1992) dalam
Bambang Subali (2006: 29-30) menghasilkan temuan bahwa lesson study sebagai
suatu riset meliputi tiga tahapan utama yakni tahap perencanaan (planning),
tahap implementasi (implementing/do), tahap refleksi (reflecting/see). Dari
tahapan tersebut, jika mengacu pada PTK menurut Sagor, maka pelaku lesson study
bekerja pada tiga tahapan tindakan, yakni: (1) memprakarsai tindakan
(initiating action), misalnya ingin mengadopsi suatu gagasan atau ingin
menerapkan suatu strategi baru (2) monitoring dan membenahi tindakan
(monitoring and adjusting action) dan (3) mengevaluasi tindakan (evaluation action)
untuk menyiapkan laporan final dari program secara lengkap.
Sagor menyarankan, dari sudut
inquiry maka kegiatan untuk memprakarsai tindakan biasanya berupa kegiatan
mencari informasi yang akan membantu dalam memahami dan memecahkan masalah
sehingga merupakan research for action. Selama pelaksanaan dilakukan monitoring
dan pembenahan tindakan yang lebih berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan
sehingga merupakan research in action. Pada akhir kegiatan dilakukan evaluasi
akhir untuk mengevaluasi tindakan yang lebih berfokus untuk mengevaluasi
kinerja yang telah dilakukan sehingga merupakan research of action.
Penelitian Sa’dun dkk (2006) yang
berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Tematik untuk Kelas 1 dan 2 SD”
berkesimpulan bahwa Model-model pembelajaran tematis untuk kelas 1 dan 2 SD
yang berhasil disusun secara kolaboratif adalah model-model dan modul
(worksheet) untuk tema-tema: Diri Sendiri, Keluarga, Lingkungan, Pengalaman,
Kegemaran, dan Kesehatan-kebersihan dan keamanan. Dari sejumlah model dan modul
(worksheet) yang telah disusun tersebut kualitasnya masih bervariasi, dan masih
dalam bentuk matrik, yang selanjutnya perlu dinarasikan secara mengalir,
disederhanakan, difinishing, sehingga lebih mudah dipahami dan dapat
diterapkan. Penelitian lain yang dilakukan Agus Marsidi dkk (2006) yang
berjudul “Pengembangan Model Sekolah Unggulan Sekolah Dasar di Propinsi
Sulawesi Selatan” berkesimpulan antara lain “pada waktu mengajar mata pelajaran
IPA, Matematika, IPS, dan Bahasa, Guru menekankan pada berbagai aspek seperti
pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pemecahan masalah, pengetahuan
prosedural, dan proses berpikir logis.” Penelitian ini dilakukan untuk
mengatasi persoalan kelangkaan model-model peningkatan kualitas guru yang
berbasis riset. (dalam Tjipto Subadi, 2009:5).
Penelitian dengan judul “Peningkatan
Kualitas Pembelajaran Mata Kuliah Psikologi Umum dengan Model Lesson Study Pada
Program Studi PGSD FKIP-UMS” dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah produk yang
berupa model-model perkuliahan di PGSD-FKIP-UMS yang bisa meningkatkan kualitas
dosen melalui pelatihan lesson study. Dengan demikian diharapkan dapat membantu
mengatasi sebagian masalah pendidikan sebagaimana diuraikan di atas.
B.
Permasalahan Penelitian.
Permasalahan penalitian ini adalah
(1) bagaimana permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum
dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS? (2) bagaimana
langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS? (3) bagaimana
model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program
Studi PGSD-FKIP-UMS?
C.
Tujuan Penelitian.
Penelitian ini menghasilkan produk
berupa (1) identifikasi permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran
psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS
(2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3)
model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program
Studi PGSD-FKIP-UMS.
D.
Manfaat Penelitian.
Secara teoritis penelitian ini
bermanfaat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan sosial tentang; (1)
permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan
lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study
yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi
umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan
menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS. Secara praktis,
memberikan sumbangan pemikiran bagi guru/dosen, LPTK dan birokrasi pendidikan
(pemerintah) dalam menyusun strategi kebijakan peningkatan kualitas pembelajaran
bagi guru/dosen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kompetensi Guru
Menurut Charles (1994 dalam Mulyasa,
2007: 25) kompetensi adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang
dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Sarimaya (2008: 17)
memaknai kompetensi guru sebagai kebulatan pengetahuan, ketrampilan dan sikap
yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab dalam melaksanakan tugas
sebagai agen pembelajaran. Sedangkan menurut Broke and Stone dalam Mulyasa
(2007: 25) kompetensi guru sebagai; descriptive of qualitative nature of
teacher behavior appears to be entirely meaningful (kompetensi guru merupakan
gambaran kualitatif tentang hakekat perilaku guru yang penuh arti).
Dari pendapat tersebut di atas, maka
jelas suatu kompetensi harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan apresiasi.
Artinya, tanpa pengetahuan dan sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi
tertentu. Sehingga kompetensi guru dapat dianggap kompeten jika memiliki
kemampuan, pengetahuan dan sikap yang mampu mendatangkan apresiasi bagi guru.
Menurut Undang Undang No. 14 Tahun
2005 Tentang Guru dan Dosen, Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh
guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjelaskan bahwa standar kompetensi
guru dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu: Kompetensi
Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial dan Kompetensi
Profesional.
1) Kompetensi Pedagogik.
Yang termasuk kompetensi pedagogik
antara lain (1) memahami peserta didik, (2) merancang pembelajaran, (3)
melaksanakan pembelajaran, (4) merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran
dan (5) mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimilikinya.
2) Kompetensi Kepribadian.
Kompetensi kepribadian merupakan
kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian: (1) mantap dan stabil,
bertindak sesuai dengan norma hukum, norma sosial, bangga sebagai pendidik,
konsisten dalam bertindak; (2) dewasa, menampilkan kemandirian dalam bertindak
sebagai pendidik dan memiliki etos kerja; (3) arif, menampilkan tindakan yang
didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat dan
menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) berwibawa, menjadi
teladan bagi peserta didik, memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap
peserta didik dan disegani; (5) berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi
peserta didik.
3) Kompetensi Profesional.
Kompetensi profesional adalah suatu
kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam hal menguasai substansi
keilmuan yang terkait dengan bidang studi antara lain; (1) menguasai
langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk menambah wawasan, (2)
memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
4) Kompetensi Sosial.
Kompetensi ini antara lain; (1)
mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik; (2) mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga
kependidikan; (3) mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang
tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Sebagai perbandingan, di salah satu
Negara bagian Amerika Serikat yaitu Florida. Menurut Suell dan Piotrowski
(2006) Negera menetapkan 12 kompetensi guru yang dikenal sebagai "Educator
Accomplished Practices" yaitu meliputi: (1) penilaian, (2) komunikasi, (3)
kemajuan berkelanjutan, (4) pemikiran kritis, (5) keanekaragaman, (6) etika,
(7) pengembangan manusia dan pelajaran, (8) pengetahuan pokok, (9) belajar
lingkungan, (10) perencanaan, (11) peran guru, dan (12) teknologi.
(http://proquest.umi.com diakses pada 12 Juni 2009 12:15).
B.
Model Pembelajaran Inovatif
Guru adalah jabatan dan pekerja
profesioal, indikator untuk mengukur keprofesionalan adalah jika kelas yang
diasuh menjadi “surganya siswa untuk belajar”, atau “kehadiran seorang sebagai
guru di kelas selalu dinantikan siswa”. (Sugiyanto, 2008: 5). Sudahkah
pembelajaran kita mencapai kondisi yang demikian? Selain tugas profesional
tersebut guru juga harus berperan sebagai sumber belajar, fasilitator,
pengelola, demonstrator, pembimbing, motivator dan evaluator. Jika peran ini
dijalankan dengan baik dan benar maka usaha memberikan pelayanan pembelajaran
yang optimal kearah pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif
dan Menyenangkan (PAIKEM) Insya Allah dapat dicapai. Perlu diingat bahwa kemampuan
menerapkan pendekatan PAIKEM tersebut diperlukan model pembelajaran yang
inovatif. Joyce dan Weil (1986) menjelaskan bahwa hakikat mengajar adalah
membantu siswa memperoleh informasi, ketrampilan, nilai, cara berfikir, sarana
untuk mengekspresikan dirinya, dan cara belajar bagaimana belajar.
Banyak model pembelajaran yang
dikembangkan oleh para ahli dalam usaha meningkatkan kualitas guru, antara
lain; Model Pembelajaran Konstektual, Model Pembelajaran Quantum, Model
Pembelajaran Terpadu, Model Pembelajaran Kooperatif, dan Model Pembelajaran
Berbasis Masalah.
1. Model Pembelajaran Kontektual.
Model Pembelajaran Konstektual
(Constextual Teaching and Learning) adalah konsep pembelajaran yang mendorong
guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa, model ini juga mendorong siswa membuat hubungan pengetahuan antara
pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka
sendiri-sendiri. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa
mengkontruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ketika ia belajar.
Menurut Nurhadi (2002) pendekatan pembelajaran kontektual memiliki tujuh
komponen, yaitu: (1) Constructivism (Konstruktivisme), (2) Inquiry (Menemukan),
(3) Questioning (Bertanya), (4) Learning Community (Masyarakat Belajar), (5)
Modelling (Pemodelan) (6) Reflection (Refleksi), (7) Authentic Assessment
(Penilaian yang Sebenarnya).
Penjelasan dari ketujuh komponen ini
menurut Harta (2009: 41) adalah sebagai berikut; konsrtuktivisme adalah suatu
pembelajaran yang menekankan terbentuknya pemahaman siswa secara aktif,
kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman
belajar yang bermakna. Sedangkan inquiry (menemukan) merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran berbasis kontektual yang diawali dengan pengamatan
terhadap fenomena, yang dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk
menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Langkah-langkah inkuiri
dimulai dari observasi, bertanya, hipotesis, pengumpulan data, dan penyimpanan.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang
selalu bermula dari questioning (bertanya). Bertanya merupakan strategi pokok
dalam pembelajaran yang berbasis kontektual. Strategi ini dipandang sebagai
upaya guru yang dapat membantu siswa untuk mengetahui sesuatu, memperoleh
informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Sehingga
penggalian informasi menjadi lebih efektif, terjadinya pemantapan pemahaman
lewat diskusi., bagi guru bertanya kepada siswa bisa mendorong, membimbing, dan
menilai kemampuan berpikir siswa.
Learning Community (Masyarakat belajar) yaitu hasil belajar bisa diperoleh dengan berbagai antar teman, antar kelompok, antar yang tahu kepada yang belum tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Adapun prinsipnya adalah hasil belajar yang diperoleh dari kerja-sama, sharing terjadi antara pihak yang memberi dan menerima, adanya kesadaran akan manfaat dari pengetahuan yang mereka dapat.
Learning Community (Masyarakat belajar) yaitu hasil belajar bisa diperoleh dengan berbagai antar teman, antar kelompok, antar yang tahu kepada yang belum tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Adapun prinsipnya adalah hasil belajar yang diperoleh dari kerja-sama, sharing terjadi antara pihak yang memberi dan menerima, adanya kesadaran akan manfaat dari pengetahuan yang mereka dapat.
Maksud dari Modelling (pemodelan)
dalam pembelajaran kontektual bahwa pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan
tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru oleh siswa. Misalnya cara
menggunakan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan,
Cara semacam ini akan lebih cepat dipahami oleh siswa. Adapun prinsip yang
perlu diperhatikan oleh guru adalah contoh yang bisa ditiru, contoh yang dapat
diperoleh langsung dari ahli yang berkompeten.
Reflection (Refleksi) juga bagian
penting dalam pembelajaran dengan pendekatan kontektual. Refleksi adalah cara
berpikir tentang apa-apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang
apa-apa yang sudah dilakukan pada masa lalu. Siswa mengedepankan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan
sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian aktivitas atau
pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran siswa akan menyadari bahwa
pengetahuan yang baru diperolehnya adalah pengayaan dari pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya. Adapun prinsip dalam penerapannya adalah perenungan atas
sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh respon atas kejadian atau penyampaian
penilaian atas pengetahuan yang baru diterima.
Sedangkan yang dimaksud Authentic
Assessment (penilaian yang sebenarnya) adalah proses pengumpulan berbagai data
yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Sehingga penilaian
autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data
yang telah terkumpul ketika proses pembelajaran berlangsung. Adapun
penerapannya adalah untuk mengetahui perkembangan belajar siswa, penilaian
dilakukan secara komprehensif antara penilaian proses dan hasil, guru menjadi
penilai yang konstruktif, memberikan siswa kesempatan untuk mengembangkan
penilaian diri.
2. Model Pembelajaran Kuantum
Model ini disajikan sebagai salah
satu strategi yang dapat dipilih guru agar pembelajaran dapat berlangsung
secara menyenangkan (enjoyful learning). Model ini merupakan ramuan dari
berbagai teori psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik
yang jauh sebelumnya sudah ada. Penggagas model ini De Porter dalam Quantum
Learning (1999: 16) ia menjelaskan bahwa Quantum Learning menggabungkan
sugestologi, teknik pemercepatan belajar dengan teori keyakinan, dan metode
kami sendiri. Termasuk diantaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori,
seperti; Teori otak kanan/kiri, Teori otak triune, Pilihan modalitas (visual,
auditorial, dan kinestetik), Teori kecerdasan ganda, Pendidikan holistik,
Belajar berdasarkan pengalaman, Belajar dengan simbol, Belajar dengan
simulsi/permainan.
Ada beberapa karakteristik umum,
menurut De Porter dalam Sugiyanto (2008: 11) yang tampak membentuk sosok
pembelajaran kuantum; 1) Berpangkal pada psikologi kognitif. 2) Lebih bersifat
humanistis, manusia selaku pembelajar menjadi pusat perhatian. (3) Lebih
bersifat kontruktivistis, bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau
naturasionistis. 4) Memadukan, menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor
potensi diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan (fisik dan mental) sebagai
konteks pembelajaran. 5) Memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan
bermakna, bukan sekedar transaksi makna. 6) Menekankan pada pemercepatan
pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi. 7) Menekankan kealamiahan dan
kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifialan atau keadaan yang
dibuat-buat. 8) Menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran. 9)
Memadukan konteks dan isi pembelajaran. 10) Memusatkan perhatian pada
pembentukan keterampilan akademis, keterampilan hidup, dan prestasi fisikal
atau material. 11) Menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting
proses pembelajaran. 12) Mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan
keseragaman dan ketertiban. 13) Mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran
dalam proses pembelajaran.
Sebagai kerangka operasional pembelajarannya, model kuantum memperkenalkan konsep TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Ulangi, dan Rayakan).
Sebagai kerangka operasional pembelajarannya, model kuantum memperkenalkan konsep TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Ulangi, dan Rayakan).
3. Model Pembelajaran Terpadu
Model pembelajaran terpadu penting
disajikan, karena dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 tentang Strandar
Isi, IPS dan IPA merupakan mata pelajaran di SMP yang harus disajikan secara
terpadu, namun penerapan model pembalajaran terpadu tersebut menemui banyak
hambatan di lapangan karena memberikan beban berat bagi guru IPS dan IPA. Hal
ini disebabkan: (1) Semua guru IPS dan IPA di SMP tidak ada yang berlatar
belakang Pendidikan IPS/IPA tetapi hanya berlatar belakang salah satu
pendidikan IPS/IPA yaitu; (sarjana pendidikan sejarah, sarjana pendidikan
ekonomi, dan sarjana pendidikan geografi, sarjana pendidikan fisika, sarjana
pendidikan biologi, sarjana pendidikan kimia), sehingga materi ajar yang
dikuasai guru hanyalah materi salah satu dari rumpun IPS/IPA tersebut. (2)
Selama kuliah para guru belum diajarkan mengemas bahan ajar dengan model
terpadu.
Model pembelajaran terpadu menurut
Ujang Sukamdi dkk (2001: 3) pengajaran terpadu pada dasarnya sebagai kegiatan
mengajar dengan memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu tema. Dengan
demikian, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan cara ini dapat dilakukan
dengan mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. Menurut
Anitah (2003: 16-17) pembelajaran terpadu mempunyai banyak keuntungan dan
kelebihan: (1) Dapat meningkatkan kedalaman dan keluasan dalam belajar. (2)
Memberikan kesadaran metakognitif kepada pebelajar. (3) Memudahkan pembelajar
untuk memahami alasan mengerjakan sesuatu yang dikerjakan. (4) Hubungan antara
isi dan proses pembelajaran menjadi lebih jelas. (5) Transfer konsep antar isi
bidang studi lebih baik.
Menurut Forgaty (1991: 5) membagi 10
model yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran terpadu, yaitu ; (1)
Fragmented model, (2) Connected model, (3) Nested model, (4) Sequencedmodel,
(5) Share model (6) Webbed model, (7) Threathed model, (8) Networked model ,
(9) Immersed model, (10) Integrated model. Kesepuluh model pembelajaran terpadu
tersebut merupakan suatu kontinum dari model yang terpisah sampai model dengan
keterpaduan yang komplek. Dari sepuluh model tersebut menurut Hamid (1997: 112)
dapat direduksi menjadi lima langkah untuk perencanaan pembelajaran terpadu,
yaitu; (a) pemetaan kompetensi dasar, (b) penentuan tema, (c) penjabaran KD ke
dalam indikator, (d) pengembangan silabi, (e) penyusunan skenario pembelajaran.
4. Model PBL (Problem Based Learning)
Model PBL mengambil psikologi
kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Menurut Sugiyanto (2008: 14-15) PBL
fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa (perilaku mereka),
tetapi pada apa yang siswa pikirkan (kognisi mereka) selama mereka
mengerjakannya. Meskipun peran guru dalam pelajaran yang berbasis masalah
kadang-kadang juga melibatkan, mempresentasikan, dan menjelaskan berbagai hal
kepada siswa, tetapi guru lebih harus sering memfungsikan diri sebagai pembimbing
dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir dan menyelesaikan
masalahnya sendiri. Membuat siswa berpikir, menyelesaikan masalah, dan menjadi
pelajar yang otonom bukan tujuan baru bagi pendidik. Berbagai strategi
mengajar, seperti discovery learning, inquiry learning, dan inductive teaching
memiliki sejarah panjang.
John Dewey (1993) mendiskripsikan secara cukup terperinci tentang nilai penting dari reflectivethinking (berpikir reflektif) dan proses-proses yang semestinya digunakan guru untuk membantu siswa memperoleh ketrampilan dan proses berpikir produktif. Jerome Bruner (1962) menekankan nilai penting dari discovery learning dan bagaimana guru mestinya membantu pelajar untuk menjadi “konstruksionos” terhadap pengetahuannya sendiri. Richard Suchman mengembangkan pendekatan yang disebut inquiry training yang gurunya menyodorkan berbagai situasi yang membingungkan kepada siswa dan mendorong mereka untuk menyelidiki dan mencari jawabannya.
John Dewey (1993) mendiskripsikan secara cukup terperinci tentang nilai penting dari reflectivethinking (berpikir reflektif) dan proses-proses yang semestinya digunakan guru untuk membantu siswa memperoleh ketrampilan dan proses berpikir produktif. Jerome Bruner (1962) menekankan nilai penting dari discovery learning dan bagaimana guru mestinya membantu pelajar untuk menjadi “konstruksionos” terhadap pengetahuannya sendiri. Richard Suchman mengembangkan pendekatan yang disebut inquiry training yang gurunya menyodorkan berbagai situasi yang membingungkan kepada siswa dan mendorong mereka untuk menyelidiki dan mencari jawabannya.
Ada lima tahapan dalam pembelajaran
model PBL yang utama, yaitu: 1) Orientasi tentang permasalahan. 2)
Mengorganisasikan diri untuk meneliti. 3) Investigasi mandiri dan kelompok 4)
Pengembangan ide dan mempresentasikan laporan hasil penyelidikan. 5)
Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah.
Banyaknya model pembelajaran
tersebut tidaklah berarti semau guru menerapkan semua model untuk setiap bidang
studi, karena tidak semua model pembelajaran itu cocok untuk setiap pokok
bahasan dalam setiap bidang studi. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
dalam memilih model pembelajaran, yaitu; (1) Tujuan yang akan dicapai. (2)
Sifat bahan/materi ajar. (3) Kondisi siswa. (4) Ketersediaan sarana prasarana
belajar. Depdiknas (2005) menjelaskan ada 8 prinsip dalam memilih model
pembelajaran, yaitu; (a) Berorientasi pada tujuan. (b) Mendorong aktivitas
siswa. (c) Memperhatikan aspek individu siswa. (d) Mendorong proses interaksi.
(e) Menantang siswa untuk berpikir. (f) Menimbulkan inspirasi siswa untuk
berbuat dan menguji. (g) Menimbulkan proses belajar yang menyenangkan. (h)
Mampu memotivasi siswa belajar lebih lanjut.
5. Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative
Learning) adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok
kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk
mencapai tujuan belajar. Menurut Harta (2009: 45) prinsip dasar pembelajaran
kooperatif dikembangkan berpijak pada beberapa pendekatan yang diasumsikan
mampu meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pendekatan yang dimaksud
adalah belajar aktif, konstruktivistik, dan kooperatif, hal ini dimaksudkan
untuk menghasilkan suatu teknik yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan
potensinya secara optimal. Lie (2004: 27) dalam Sugiyanto (2008: 10)
menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif menciptakan interaksi yang asah,
asih, dan asuh sehingga tercipta masyarakat belajar (learning community). Siswa
tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama siswa. Pembelajaran
kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat elemen-elemen yang
saling terkait. Elemen-elemen itu, adalah: (1) Saling ketergantungan positif.
(2) Interaksi tatap muka. (3) Akuntabilitas individu. (4) Keterampilan untuk
menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan untuk menjalin hubungan antar
pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan.
Ada lima tahapan dalam Model
Pembelajaran Kooperatif, yaitu; (1) Mengklarifikasi tujuan dan estlablishing
set. (2) Mempresentasikan informasi/ mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok
belajar. (3) Membentuk kerja kelompok belajar. (4) Mengujikan berbagai materi.
(5) Memberikan pengakuan.
Model Pembelajaran Kooperatif ini
dikembangkan menjadi enam model, yaitu: (a) Student Teams Achievement Division
(STAD) (b) Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (c) Jigsaw (d)
Learning Together (e) Group Investigation, dan (f) Cooperative Scripting.
a.
Student
Teams Achievement Division (STAD)
Suatu model kooperatif yang
mengelompokkan berbagai tingkat kemampuan yang melibatkan pengakuan tim dan
tanggung jawab kelompok untuk pembelajaran individual. Metode ini dikembangkan
oleh Robert Slavin (1994) metode ini dilaksanakan dengan mengelompokkan siswa
yang beranggotakan 4 siswa perkelompok yang berbeda dalam tingkat kemampuannya.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) Guru membagi kelas (siswa)
menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok beranggotakan 4-5 siswa yang heterogen
kemampuannya. (2) Guru membagikan topik/bahasan/lembar kerja akademik kepada
tiap-tiap kelompok (3) Kerja kelompok untuk membahas topik tersebut, anggota
kelompok saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau
diskusi antar sesama anggota kelompok. (4) Guru memberikan evaluasi untuk
mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah mereka
pelajari. (5) Guru memberi skor atas pekerjaan dari siswa. (6) Dan kemudian
guru memberi hadiah kepada setiap siswa yang berhasil, sebaliknya guru memberi
hukuman yang mendidik kepada yang kurang berhasil, misalnya menyanyi, menghafal
surat-surat Al Quran yang pendek.
b. Cooperative Integrated Reading and
Composition (CIRC)
Suatu model pembelajaran yang
komprehenship untuk mengajarkan membaca dan menulis di kelas-kelas atas, para
siswa bekerja dalam bebarapa tim yang beranggotakan empat siswa. Stevens &
Slavin (1995) dalam Harta (2009: 54) menjelaskan bahwa CIRC adalah suatu
program konprehensif untuk pembelajaran membaca dan menulis di sekolah dasar,
terutama untuk kelas 4, 5 dan 6. Adapun gambaran pelaksanaan pembelajaran CIRC
antara laian; Para siswa bekerja dalam beberapa kelompok yang masing-masing
beranggotakan empat orang. Mereka melakukan serangkaian kegiatan satu sama
lainnya, termasuk membacakan, memperkirakan kelanjutan cerita naratif,
menyimpulkan cerita yang dibaca siswa lain, merespos suatu cerita, berlatih
mengeja, menafsirkan, dan kosa kata.
c.
Jigsaw
Jigsaw adalah suatu pendekatan
kooperatif yang setiap timnya beranggotakan 4-6 siswa yang akan mempelajari
bahan pembelajaran yang telah dibagi atas enam bagian, satu bagian untuk satu
anggota. Dalam Jigsaw setiap kelompok akan mempelajari materi yang telah dibagi
atas enam bagian. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut : (1) Guru membagi
kelas menjadi beberapa kelompok (beberapa tim), tiap kelompok/tim anggotanya
terdiri dari 4 -6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. (2) Bahan akademik
disajikan kepada siswa dalam bentuk teks; dan setiap siswa bertanggung jawab
untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut. (3) Para anggota
dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari suatu
bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu
mengkaji bagian bahan tersebut. Kumpulan siswa semacam ini disebut “kelompok
pakar”. (expert group) (4) Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok
pakar kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar anggota lain
mengenai materi yang telah dipelajari dalam kelompok pakar. (5) Setelah
diadakan pertemuan dan diskusi dalam “home teams”, para siswa dievaluasi secara
individual mengenai bahan yang telah dipelajari. Dalam metode Jigsaw versi
Slavin, pemberian skor dilakukan seperti dalam metode STAD. Individu atau tim
yang memperoleh skor tinggi diberi penghargaan oleh guru.
d. Learning Together
Learning Together adalah suatu
pendekatan kooperatif yang setiap kelompok heterogen beranggotakan empat-lima
siswa untuk membahas materi secara bersama-sama. Pendekatan kooperatif
heterogen yang dikembangkan oleh David Johnson and Roger Johnson (1999) ini menugaskan
setiap kelompok bekerja sama untuk membahas suatu materi. Setiap kelompok
mengumpulkan hasil pembahasan dan menerima penghargaan berdasarkan apa yang
dihasilkan oleh kelompok tersebut. Model ini menekankan pada kegiatan-kegiatan
untuk pembentukan kebersamaan kelompok sebelum bekerja dan diskusi dalam
kelompok tentang seberapa baik mereka bekerja sama.
e.
Group
Investigation
Menurut Harta (2009: 54) Group
Investigation adalah suatu pendekatan kooperatif dalam kelompok-kelompok kecil
menggunakan teknik inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan
proyek. Hasil penyelidikan kemudian disajikan kepada seluruh kelas.
Menurut pendapat (Sharan &
Sharan, 1992) Group Investigation merupakan rencana organisasi kelas biasa di
mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil menggunakan model
inkuiri, diskusi kelompok, dan perencanaan bersama dan proyek. Dalam model ini,
para siswa membentuk sendiri kelompoknya (2 – 6 orang peserta didik). Setelah
memilih subtopik dari topik yang sedang dipelajari oleh seluruh kelas, setiap
kelompok memecah subtopik tersebut menjadi tugas-tugas individu untuk
dilaksanakan dan dilaporkan sebagai bagian dari tugas kelompok. Masing-masing
kelompok kemudian mempresentasikan temuannya kepada seluruh kelas. Adapun
langkah-langkah pembelajarannya Group Investigation menurut Sugiyanto (2008:
45-46) adalah : (1) Seleksi topik. Para siswa memilih berbagai subtopik dalam
suatu masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa
diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task
oriented group) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok
bersifat heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik.
(2) Merencanakan kerja sama. Para siswa dan guru merencanakan berbagai prosedur
belajar khusus tugas, dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan
subtopik yang telah dipilih seperti langkah di atas. (3) Implementasi. Para
siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah sebelumnya.
Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi
yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang
terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti
kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan. (4) Analisis dan
sintesis. Para siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang
diperoleh pada langkah sebelumnya dan merencanakan peringkasan dalam suatu
penyajian yang menarik di depan kelas. (5) Penyajian hasil akhir. Semua
kelompok menyajikan presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah
dipelajari agar semua siswa terlibat dan mencapai perspektif yang luas mengenai
topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasikan guru. (6) Evaluasi
selanjutnya. Guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai konstribusi
tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi
dapat mencakup tiap siswa secara individual atau kelompok atau keduanya.
f.
Cooperative
Scripting
Suatu pengkajian yang menuntut siswa
bekerja berpasangan dan secara bergiliran secara lisan menyimpulkan
bagian-bagian yang akan dipelajari. Banyak siswa yang menyukai bersama dengan
teman sekelas mendiskusikan materi yang mereka dengar atau pelajari di kelas.
Formalisasi latihan dengan teman sebaya ini telah diteliti oleh Dansereau
(1985) dan rekan-rekannya. Dalam penelitian ini, para siswa belajar berpasangan
dan secara bergilir membuat kesimpulan untuk materi yang dipelajarinya.
Sementara seorang siswa menyimpulkan untuk rekannya, siswa lainnya mendengarkan
dan mengkoreksi setiap kesalahan atau kekurangannya, jika ada. Kemudian kedua
siswa bertukar peran, dengan kegiatan yang sama sehingga semua materi telah
dipelajari. Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan model ini secara
konsisten menemukan bahwa para siswa yang mengikuti model ini jauh melebihi
siswa yang menyimpulkan atau membaca sendiri (Newbern, Dansereau, Patterson
& Wallace, 1994). Penelitian lain menemukan bahwa siswa yang mengajar lebih
tinggi dibandingkan dengan rekannya yang berperan sebagai pendengar (Spurlin,
Dansereau, Larson & Brooks, 1984; Fuchs & Fuchs, 1997; King, 1997,
1998).
C.
Peningkatan Kualitas Pembelajaran
Peningkatan kualitas pembelajaran
adalah usaha untuk menjadikan pembelajaran lebih baik sesuai dengan
kondisi-kondisi yang dapat diciptakan atau diusahakan. Kriterianya bersifat
normatif yaitu hasil tindakan dianalisis dengan metode alur kemudian
dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Peningkatan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah peningkatan kualitas pembelajaran/perkuliahan mata kuliah
psikiologi umum, di mana peningkatan pembelajaran ini diharapkan berpengaruh
kepada prestasi mahasiswa penempuh mata kuliah psikologi umum tersebut lebih
baik.
Kegiatan pembelajaran di Perguruan
Tinggi merupakan bagian dari kegiatan pendidikan pada umumnya, yang secara
otomatis meningkatkan kualitas mahasiswa ke arah yang lebih baik. Bila diamati
keberhasilan dalam pendidikan tidaklah lepas dari kegiatan pembelajaran. Keberhasilan
dalam pembelajaran di Perguruan Tinggi biasanya diukur dengan keberhasilan
mahasiswanya dalam memahami dan menguasai materi yang diberikan. Semakin banyak
mahasiswa yang dapat mencapai tingkat pemahaman dan penguasaan materi, maka
semakin tinggi keberhasilan dari pembelajaran tersebut.
Pembelajaran sebagai pembinaan ke
arah perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup harus
direncanakan dan dilaksanakan secara kondusif dan menyenangkan, sehingga
mahasiswa memiliki motivasi dan perhatian untuk belajar lebih jauh. Karena itu
maka pembelajaran yang efektif seyogyanya menggunakan berbagai macam
pendekatan, metode dan media pembelajaran (pendidikan) yang dapat menyenangkan
dan menarik perhatian.
Pembelajaran pada hakikatnya adalah
proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi
perubahan perilaku yang lebih baik (Mulyasa, 2002: 100). Pembelajaran adalah
penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar
mengajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling
mempengaruhi, yaitu tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi yang
diajarkan, guru dan siswa / mahasiswa yang harus memainkan peranan, serta ada
hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, sarana dan prasarana
belajar mengajar yang tersedia (Hasibuan, 2006: 3). “Pembelajaran merupakan
kegiatan mengatur dan mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar sehingga
dapat mendorong dan menumbuhkan siswa melalukan kegiatan belajar”. (Sudjana,
2005: 7).
Dari uraian pembelajaran tersebut di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari
pengajar/guru/dosen untuk membuat proses belajar-mengajar terjadinya perubahan
tingkah laku pada diri pelajar/siswa/mahasiswa yang berlaku dalam waktu relatif
lama. Karena itu dalam guru mengajar/dosen memberi kuliah, bagaimana
siswa/mahasiswa dapat mempelajari bahan sesuai tujuan. Usaha yang dilakukan
guru/dosen merupakan serangkaian peristiwa yang dapat mempengaruhi
siswa/mahasiswa. Peran guru/dosen bukan sebagai penyampai informasi, melainkan
sebagai motivator, organisator, fasilitator, dalam pembelajaran.
D.
Lesson Study
1. Tinjauan Sejarah
Lesson Study di Jepang. Lesson Study
dikembangkan di Jepang sejak tahun 1900-an. Guru-guru di Jepang mengkaji
pembelajaran melalui perencanaan dan observasi bersama yang bertujuan untuk
memotivasi siswa-siswanya aktif belajar mandiri. Lesson Study merupakan
terjemahan langsung dari bahasa Jepang jugyokenkyu, yang berasal dari dua kata
yogyo yang berati lesson atau pembelajaran, dan kentyu yang berarti study atau
research atau pengkajian. Dengan demikian lesson study merupakan study atau
penelitian atau pengkajian terhadap pembelajaran. (Tim UPI, 2007: 20).
Lesson Study bisa dilaksanakan oleh
kelompk guru-guru di suatu distrik atau diselenggarakan oleh kelompok guru
sebidang, semacam MGMP di Indonesia. Kelompok guru dari beberapa sekolah
berkumul untuk melaksanakan lesson study. Lesson Study yang sangat populer di
Jepang adalah yang diselenggarakan oleh suatu sekolah dan dikenal sebagai
konaikenshu yang berkembang sejak tahun 1960-an. Konaikenshu juga dibentuk oleh
dua kata yaitu konai yang berarti di sekolah dan kata kenshu yang berarti
tanning. Jadi istilah konaikenshu berarti school-based in-service training atau
in service education within the school atau in house workshop. Pada tahun
1970-an pemerintah Jepang merasakan manfaat dari konaikenshu dan sejak itu
pemerintah Jepang mendorong sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu
dengan menyediakan dukungan biaya dan insentif bagi sekolah yang melaksanakan
konaikenshu. Kebanyakan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Jepang
melaksanakan konaikenshu. Walaupun pemerintah Jepang telah menyediakan dukungan
biaya bagi sekolah-sekolah untuk melaksanakan konaikenshu tetapi kebanyakan
sekolah melaksanakan secara sukarela karena sekolah merasakan manfaatnya (Tim
Lesson Study UPI, 2007: 20-21)
Lesson Study Telah Menjadi Milik
Dunia. The Third Intenational Mathematics and Science Study (TIMSS) merupakan
studi untuk membandingkan pencapaian hasil belajar matematika dan IPA kelas 8
(kelas 2 SMP). Penyebaran lesson study di dunia pada tahun 1995 di latar
belakangi oleh TIMSS. Empat puluh satu negara terlibat dalam TIMSS, dua puluh
dari empat puluh satu Negara memperoleh skor rata-rata matematika yang
signifikan lebih tinggi dari Amerika Serikat. Negara-Negara yang memperoleh
skor matematika yang lebih tinggi dari Amerika Serikat antara lain Singapura,
Korea, Jepang, Kanada, Prancis, Australia, Ireland. Sementara hanya 7 negara
yang memperoleh skor matematika secara signifikan lebih rendah dari Amerika
Serikat, yaitu Lithuania, Cyprus, Portugal, Iran, Kuwait, Colombia, dan Afrika
Selatan.
Posisi pencapaian belajar matematika
siswa-siswa SMP Kelas 2 (dua) di Amerika Serikat membuat negara itu melakukan
studi banding pembelajaran matematika di Jepang dan Jerman. Tim Amerika Serikat
melakukan perekaman video pembelajaran matematika di Jepang, Jerman, dan
Amerika Serikat untuk dilakukan analisis terhadap pembelajaran tersebut. Pada
waktu itu, Tim Amerika Serikat menyadari bahwa Amerika Serikat tidak memiliki
sistem untuk melakukan peningkatan mutu pembelajaran, sementara Jepang dan
Jerman melakukan peningkatan mutu pembelajaran secara berkelanjutan. Amerika Serikat
selalu melakukan reformasi tapi tidak selalu melakukan peningkatan mutu.
Selanjutnya ahli-ahli pendidikan Amerika Serikat belajar dari Jepang tentang
lesson study. Sekarang lesson study telah berkembang di sekolah-sekolah di
Amerika Serikat dan diyakini lesson study sangat potensial untuk pengembangan
keprofesionalan pendidik yang akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan.
Selain itu lesson study juga telah berkembang di Australia.
Lesson Study di Indonesia. Lesson
Study berkembang di Indonesia melalui IMSTEP (Indonesia Mathematics and Science
Teacher Education Project) yang diimplemantasikan sejak Oktober tahun 1998 di
tiga IKIP yaitu IKIP Bandung (sekarang bernama Universitas Pendidikan
Indonesia/UPI), IKIP Yogjakarta (sekarang bernama Universitas Negeri
Yogyakarta/UNY) dan IKIP Malang (sekarang bernama Universitas Negeri Malang
/UNM) bekerja-sama dengan JICA (Japan International Cooperation Agency). Tujuan
Umum dari IMSTEP adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika dan IPA
di Indonesia, sementara tujuan khususnya dalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan matematika dan IPA di tiga IKIP yaitu IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta,
dan IKIP Malang. Pada permulaan implementasi IMSTEP, UPI, UNY, dan UM
berturut-turut bernama IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, dan IKIP Malang.
2. Konsep Dasar Lesson Study
Lesson Study merupakan suatu model
pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan
berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning
untuk membangun learning community. Lesson Study bukan suatu metode
pembelajaran atau suatu strategi pembelajaran, tetapi dalam kegiatan lesson
study dapat memilih dan menerapkan berbagai metode/strategi pembelajaran yang
sesuai dengan situasi, kondisi, dan permasalahan yang dihadapi pendidik.
Lesson study dapat merupakan suatu
kegiatan pembelajaran dari sejumlah guru/dosen dan pakar pembelajaran yang
mencakup; (1) tahap perencanaan (planning), (2) tahap implementasi (action)
pembelajaran dan observasi, dan (3) tahap refleksi (reflection) terhadap
perencanaan dan implementasi pembelajaran tersebut dalam rangka meningkatkan
kualitas pembelajaran.
a.
Tahap
perencanaan
Pada tahap ini hal-hal yang akan
dilakukan adalah: Pertama, Identifikasi masalah pembelajaran yang ada di kelas
yang akan digunakan untuk kegiatan lesson study, dan perencanaan alternatif
pemecahannya. Identifikasi masalah tersebut berkaitan dengan pokok bahasan
(materi pelajaran) yang relevan, karakteristik mahasiswa dan suasana kelas,
metode/pendekatan pembelajaran, media/ alat peraga, dan proses evaluasi dan
hasil belajar yang akan dicapai.
Kedua, Dari hasil identifikasi
tersebut didiskusikan (dalam kelompok lesson study) tentang; (a) pemilihan
materi pembelajaran, (b) pemilihan metode dan media yang sesuai dengan
karakteristik mahasiswa, serta (c) jenis evaluasi yang akan digunakan. Pada
saat diskusi, akan muncul pendapat dan sumbang saran dari para mahasiswa, dosen
dan pakar dalam kelompok tersebut untuk menetapkan pilihan yang akan diterapkan.
Pada tahap ini, pakar dapat mengemukakan hal-hal penting/baru yang perlu
diketahui dan diterapkan oleh dosen, seperti pendekatan pembelajaran
konstruktif, pendekatan pembelajaran yang memandirikan belajar mahasiswa,
pembelajaran kontekstual, pengembangan life skill, pemutakhiran materi ajar,
atau lainnya yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan
tersebut.
Ketiga, Hal yang penting pula untuk
didiskusikan adalah penyusunan lembar observasi, terutama penentuan aspek-aspek
yang perlu diperhatikan dalam suatu proses pembelajaran dan
indikator-indikatornya, terutama dilihat dari segi tingkah laku mahasiswa.
Aspek-aspek proses pembelajaran dan indikator-indikator itu disusun berdasarkan
perangkat pembelajaran yang dibuat serta kompetensi dasar yang ditetapkan untuk
dimiliki mahasiswa setelah mengikuti proses pembelajaran. (4) Dari hasil
identifikasi masalah dan diskusi perencanaan pemecahannya, selanjutnya disusun
dan dikemas dalam suatu perangkat pembelajaran yang terdiri atas : (a) Rencana
Pembelajaran (RP) (b) Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran (Teaching Guide) (c)
Lembar Kerja mahasiswa (LKM) (d) Media atau alat peraga pembelajaran (e)
Instrumen penilaian proses dan hasil pembelajaran. (f) Lembar observasi
pembelajaran.
b. Tahap Implementasi dan Observasi
Pada tahap ini seorang dosen,
melakukan implementasi rencana pembelajaran (RP) yang telah disusun tersebut di
kelas. Pakar dan dosen lain melakukan observasi dengan menggunakan lembar
observasi yang telah dipersiapkan dan perangkat lain yang diperlukan. Para
observer ini mencatat hal-hal positif dan negatif dalam proses pembelajaran,
terutama dilihat dari segi tingkah laku mahasiswa. Selain itu (jika
memungkinkan), dilakukan rekaman video (audio visual) yang meng close-up
kejadian-kejadian khusus (pada dosen dan mahasiswa) selama pelaksanaan
pembelajaran. Hasil rekaman ini berguna nantinya sebagai bukti autentik
kejadian-kejadian yang perlu didiskusikan dalam tahap refleksi atau pada
seminar hasil lesson study, di samping itu dapat digunakan sebagai bahan
diseminasi kepada khalayak yang lebih luas.
c.
Tahap
Refleksi
Selesai praktik pembelajaran, segera
dilakukan refleksi. Pada tahap refleksi ini, dosen yang tampil dan para
observer serta pakar mengadakan diskusi tentang pembelajaran yang baru saja
dilakukan. Diskusi ini dipimpin oleh pakar/dosen lain yang ditunjuk. Pertama,
dosen yang melakukan implementasi rencana pembelajaran tersebut di atas diberi
kesempatan untuk menyatakan kesan-kesannya selama melaksanakan pembelajaran,
baik terhadap dirinya maupun terhadap siswa yang dihadapi. Kedua, observer
(dosen lain/pakar) menyampaikan hasil analisis data observasinya, terutama yang
menyangkut kegiatan siswa selama berlangsung pembelajaran yang disertai dengan
pemutaran video hasil rekaman pembelajaran. Ketiga, dosen yang melakukan
implementasi tersebut akan memberikan tanggapan balik atas komentar para
observer.
3. Pengembangan Lesson Study
a.
Pengembangan
Lesson Study Sebagai PTK
Lesson Study sebagai penelitian
tindakan kelas dapat dilaksanakan dalam beberapa macam. Mengacu pendapat Kemmis
dan McTaggart (1997) ada tiga macam PTK, yakni PTK yang dilakukan secara
individual, PTK yang dilakukan secara kolaboratif, dan PTK yang dilakukan
secara kelembagaan.
1) Lesson Study dalam Bentuk PTK yang
Dilakukan Secara Individual
Lesson study dalam PTK yang
dilakukan secara individual, seorang guru/dosen yang melakukan PTK berkedudukan
sebagai peneliti sekaligus sebagai praktisi. Sebagai peneliti, guru/dosen harus
mampu bekerja pada jalur penelitiannya, yakni jalur menuju perbaikan dengan
langkah-langkah yang dapat dipertanggung jawabkan dalam arti guru/dosen yang
bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang dihimpun sehingga mendukung
objektivitas penelitian yang dilakukan serta ketepatan dalam menginterpretasi
dan menarik kesimpulan hasil penelitian. Untuk itu dalam PTK yang dilakukan
secara individual harus didukung oleh critical friend.
Critical friend yang tepat sangat
membantu saat peneliti melakukan refleksi. Selain itu, critical friend juga
dapat sebagai observer saat peneliti melakukan praktek pembelajaran sebagai
praktisi. Bila tanpa critical friend ada yang mempertanyakan objektivitas
penelitiannya. Critical friend dipilih sesuai dengan keahlian atau kebutuhan.
Oleh karena itu, critical friend dapat berganti-ganti orang sepanjang
penggantian fungsional untuk membantu keberhasilan program lesson study yang
dilaksanakan. Jika seorang pelaksana program lesson study sudah senior atau
sudah terbiasa melakukan dan didukung sarana prasarana untuk peliputan data
yang memadai seperti alat perekam dalam bentuk audio visual, maka dapat saja
melibatkan critical friend untuk mengkritisi hasil-hasil yang dilaksanakan
setelah ia menganalisis hasil perekaman.
Dengan demikian, critical friend
hanya dilibatkan pada saat refleksi dan sekaligus mengkritisi lesson study yang
dilakukan. Bahkan, diharapkan critical friend juga mau mengadopsi bila hasilnya
dinilai positif. Sebaliknya, bagi pemula, maka dapat melibatkan critical friend
di setiap tahapan lesson study yang dilaksanakan, mulai dari pemilihan
permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, sampai pada pelaporan.
2) Lesson Study berbasis PTK yang
Dilakukan Secara Kolaboratif
PTK dalam bentuk
kolaboratif/kelompok melibatkan sekelompok guru/dosen, sehingga ada guru/dosen
sebagai peneliti dan guru/dosen sebagai praktisi. Dapat pula kolaborasi
dilakukan antara guru dengan dosen. Dalam kolaborasi antara guru dan dosen,
permasalahan digali bersama di lapangan, dan dosen dapat sebagai inisiator
untuk menawarkan pemecahan atas dasar topik area yang dipilih. Dalam hal ini
validitas penelitian lebih terjamin karena ada posisi sebagai peneliti dan
posisi sebagai praktisi.
3) Lesson Study berbasis PTK yang
Dilakukan Secara Kelembagaan
Lesson study yang dilakukan dalam
bentuk PTK individual/perorangan ataupun dalam bentuk PTK yang dilakukan secara
kolaboratif/kelompok memiliki skop terbatas atau berfokus pada topik area yag
sempit. Misalnya, penelitian hanya berfokus pada hubungan antara proses
pembelajaran dan hasil yang ingin dicapai. PTK yang dilakukan secara
kelembagaan memiliki skop penelitian yang lebih luas dan ditujukan untuk
perbaikan lembaga. Dengan demikian, dalam satu penelitian dapat ditetapkan
beberapa topik area. Dalam PTK yang dilakukan secara kelembagaanpun melibatkan
kolaborasi dapat dibangun secara luas dengan melibatkan banyak pihak yang
terkait. Untuk sekolah, dapat melibatkan siswa, guru, karyawan, orang tua,
kepala sekolah, dinas, dan dosen perguruan tinggi. Untuk perguruan tinggi,
dapat melibatkan mahasiswa, dosen, karyawan, pihak pengguna, dan stakeholder
ataupun yang lainnya.
Tujuan utama PTK yang dilakukan
secara kelembagaan adalah untuk memajukan lembaga. Oleh karena itu, dapat
dibuat kelompok-kelompok peneliti menurut topik-topik area yang relevan dengan
kelompok yang bersangkutan. Menurut Kemmis dan McTaggart (1997) dalam PTK
bentuk ini kelompok-kelompok kecil yang ada di dalamnya dapat melakukan
kegiatan eksperimen untuk menguji beberapa inovasi untuk permasalahan yang ada.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif fenomenologi dengan paradigma definisi sosial yang
bergerak pada kajian mikro. Fenomenologi dengan paradigma definisi sosial ini
akan memberi peluang individu sebagai subjek penelitian melakukan interpretasi,
dan kemudian peneliti melakukan interpretasi terhadap interpretasi itu sampai
mendapatkan pengetahuan tentang; (1) Identifikasi permasalahan peningkatan
kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada
Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program
Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan
pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah
psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
Jenis penelitiannya menggunakan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan secara individual, yakni seorang
dosen yang melakukan PTK berkedudukan sebagai peneliti sekaligus sebagai
praktisi. Sebagai peneliti, dosen harus mampu bekerja pada jalur penelitiannya,
yakni jalur menuju perbaikan dengan langkah-langkah yang dapat dipertanggung
jawabkan dalam arti dosen yang bersangkutan harus menjamin kesahihan data yang
dihimpun sehingga mendukung objektivitas penelitian yang dilakukan serta
ketepatan dalam menginterpretasi dan menarik kesimpulan hasil penelitian. Untuk
itu dalam PTK yang dilakukan secara individual harus didukung oleh critical
friend.
Critical friend yang tepat sangat
membantu saat peneliti melakukan refleksi. Selain itu, critical friend juga
dapat sebagai observer saat peneliti melakukan praktik pembelajaran sebagai
praktisi. Bila tanpa critical friend ada yang mempertanyakan objektivitas
penelitiannya. Critical friend dipilih sesuai dengan keahlian atau kebutuhan.
Oleh karena itu, critical friend dapat berganti-ganti orang sepanjang
penggantian fungsional untuk membantu keberhasilan program lesson study yang
dilaksanakan. Jika seorang pelaksana program lesson study sudah senior atau
sudah terbiasa melakukan dan didukung sarana prasarana untuk peliputan data
yang memadai seperti alat perekam dalam bentuk audio visual, maka dapat saja melibatkan
critical friend untuk mengkritisi hasil-hasil yang dilaksanakan setelah ia
menganalisis hasil perekaman.
Dengan demikian, critical friend
hanya dilibatkan pada saat refleksi dan sekaligus mengkritisi lesson study yang
dilakukan. Bahkan, diharapkan critical friend juga mau mengadop bila hasilnya
dinilai positif. Sebaliknya, bagi pemula, maka dapat melibatkan critical friend
di setiap tahapan lesson study yang dilaksanakan, mulai dari pemilihan
permasalahan, perencanaan, pelaksanaan, refleksi, sampai pada pelaporan.
B.
Latar Penelitian, Informan Penelitian
Yang menjadi latar penelitian ini
adalah dosen pengampu mata kuliah psikologi umum dan mahasiswa penempuh mata
kuliah psikologi umum semester I PGSD-FKIP-UMS tahun ajaran 2009/2010, Informan
penelitian ini adalah; Pimpinan Struktural, Dosen, Mahasiswa PGSD.
Melalui Pimpinan Strukturan, Dosen
dan Mahasiswa PGSD akan diperoleh informasi/interpretasi tenang; Identifikasi
permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan
lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS, langkah-langkah lesson study
yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi
umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS, dan model pembelajaran inovatif dengan
menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
C.
Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian.
Data tentang Identifikasi
permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan
lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS dikumpulkan dengan teknik
observasi, wawancara mendalam.
Observasi dilakukan untuk mengamati
perkuliahan psikologi umum, sedangkan wawancara dilakukan baik kepada pimpinan,
dosen dan mahasiswa, untuk memperoleh data tentang masalah-masalah perkuliahan.
Untuk itu, instrumen penelitian ini berupa: pedoman observasi, dan angket-semi
terbuka. Proses wawancara sampai memperoleh interpretasi dari informan, dan
kemudian peneliti menginterpretasikan interpretasi informasi tersebut sampai
memperoleh bahasa ilmiah yang tidak merubah makna dari interpretasi pertama.
Dalam hal ini Berger (dalam Santoso, 2004) menyebutnya dengan first order
understanding dan second order understanding. Sehubungan dengan hal tersebut di
atas peneliti perlu mempersiapkan antara lain; (1) instrumen penelitian,
instrumen penelitian ini berupa: pedoman observasi, angket semi terbuka, (2)
model pembelajaran
D.
Analisis Data.
Analisis data dilakukan secara
deskriptif kualitatif. Analisis data ini menggunakan pendekatan proses alur;
data dianalisis sejak tindakan pembelajaran/ perkuliahan dilaksanakan,
dikembangkan selama proses perkuliahan berlangsung sampai diperoleh perkuliahan
yang berkualitas / profesional. Teknis analisis data tersebut di atas mengacu
pendapat Miles (1992), Pertama, analisis data yang muncul berwujud kata-kata,
data ini dikumpulkan dari survey/observasi, wawancara mendalam dan model
perkuliahan. Kedua, analisis ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi
secara bersamaan yaitu; reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15-21).
Reduksi data diartikan sebagai
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan
transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di
lapangan, dalam hal ini peneliti mencatat hasil observasi dan wawancara dengan
informan berkaitan dengan permasalahan penelitian yang telah di rumuskan pada
bagian latar belakang tersebut di atas.
Alur penting yang kedua dari
kegiatan analisis data adalah penyajian data. Penyajian data di sini sebagai
sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data ini berbentuk teks naratif,
teks dalam bentuk catatan-catatan hasil wawancara dengan informan penelitian
sebagai informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan. Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seseorang penganalisis (peneliti)
mulai mencari makna peningkatan kualitas pembelajaran melalui lesson study.
Dengan demikian, aktifitas analisis merupakan proses interaksi antara ketiga
langkah analisis data tersebut, dan merupakan proses siklus sampai kegiatan
penelitian selesai.
E.
Keabsahan Data
Data merupakan fakta atau
bahan-bahan keterangan yang penting dalam penelitian. Sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan (aktivitas), dan
selebihnya, seperti dokumen (yang merupakan data tambahan). Kesalahan data
berarti dapat dipastikan menghasilkan kesalahan hasil penelitian. Karena begitu
pentingnya data dalam penelitian kualitatif, maka keabsahan data dalam
penelitian ini melalui teknik pemeriksaan keabsahan yang disarankan oleh
Lincoln dan Guba, yang meliputi: kredibilitas (credibility), transferabilitas
(transferability), dependabilitas (dependability), konfirmabilitas
(confirmability) (Lincoln, dan Guba, 1985: 298-331).
F.
Indikator Kinerja
Indikator kinerja ini diarahkan pada
pencapaian produk yakni (1) Identifikasi permasalahan peningkatan kualitas
pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan lesson study pada Program Studi
PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi
PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan
lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi
umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
Indikator peningkatan kualitas
pembelajaran tersebut di atas tercapai apabila dosen sudah mampu mempraktekkan
dengan benar 9 ketrampilan mengajar sebagai berikut: (1) Ketrampilan mengelola
kelas (2) ketrampilan membuka pelajaran (3) ketrampilan bertanya (pre test,
saat menerangkan, dan pos test) (4) ketrampilan menerangkan (5) ketrampilan
menggunakan multi media (6) ketrampilan menggunakan multi metode (7)
ketrampilan memberikan motivasi (8) ketrampilan memberikan ganjaran (9)
ketrampilan menutup pelajaran.
G.
Perancangan Produk
Perancangan produk yang berupa model
peningkatan kualitas dosen dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan
dosen lain (dosen tim pengampu mata kuliah psikologi umum). Di samping itu
dibantu oleh 3 orang berstatus sebagai anggota peneliti dari mahasiswa S1 yang
dilibatkan dalam diskusi-diskusi dalam pengembangan instrument penelitian,
pengumpulan data, pelatihan penyusunan model pembelajaran, lokakarya penyusunan
model, dan penyuntingan.
Kegiatan kolaboratif ini dilakukan
dalam jangka waktu 6 bulan berupa; pengumpulan data tentang (1) Identifikasi
permasalahan peningkatan kualitas pembelajaran psikologi umum dengan pendekatan
lesson study pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (2) langkah-langkan lesson study
yang efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi
umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS (3) model pembelajaran inovatif dengan
menggunakan pendekatan lesson study untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS.
H.
Spesifikasi Produk.
Produk yang berupa identifikasi
masalah-masalah pengembangan model peningkatan kualitas dosen yang dihasilkan
dengan spesifikasi sbb:
Masalah
Perkuliahan Dosen Mata Kulian Psi. Umum
Masalah-Masalah
Perkuliahan Dosen Mata Kuliah Psikologi Umum
a.
Kemampuan
dosen dalam pengembangan kurikulum menjadi perkuliahan berkualitas.
b. Ketersediaan sumber belajar yang
dimiliki dan pemanfaatannya.
c.
Pola interaksi perkuliahan.
d. Pola pemanfaatan potensi alam dan
manusia sekitar kampus dalam mendukung kegiatan perkuliahan.
e.
Kesulitas
mahasiswa dalam penguasaan kompetensi.
f.
Kesulitas
dosen dalam mengembangkan perkuliahan berkualitas.
g. Kemampuan dosen mengembangkan
instrumen penilaian.
h. Peran pimpinan dalam pengembangan
perkuliahan berkualitas.
i.
Aktivitas
mahasiswa dalam perkuliahan.
j.
Kreatifitas
mahasiswa dalam perkuliahan.
k. Rasa senang mahasiswa dalam
perkuliahan.
l.
Faktor-faktor
pendukung (potensial) untuk pengembangan perkuliahan berkualitas.
m. Faktor-faktor penghambat
pengembangan perkuliahan berkualitas bagi dosesn PGSDS.
n. Lesson study baru dikembangkan di
SD, SLP, SLA dan belum dikembangkan di Perguruan Tinggi.
Sedangkan spesifikasi produk yang
berupa langkah-langkah lesson study yang efektif untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program Studi PGSD-FKIP-UMS dan
model pembelajaran inovatif dengan menggunakan pendekatan lesson study untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran mata kuliah psikologi umum pada Program
Studi PGSD-FKIP-UMS berupa model perkuliahan yang berkaulitas dan seperangkat
program semester perkuliahan, silabus, jaringan tema, dan (MRP) Model Rencana
Perkuliahan.
I.
Produk Yang Akan Dihasilkan
Produk yang akan dihasilkan dari
penelitian ini, untuk tahun pertama; model peningkatan kualitas kooperatif
(improvement model of quality of co-operative). Produk untuk tahun kedua; model
peningkatan kualitas berdasar masalah (improvement model of quality of based on
problem. Dan untuk tahun ketiga; model peningkatan kualitas langsung
(improvement model of quality of direct)
Tahun
Pertama: Model Peningkatan Kualitas Kooperatif (Improvement Model of Quality of
Co-Operative)
Model kooperatif ini memiliki
beberapa unsur yaitu; (1) Mahasiswa belajar dalam kelompok kecil yang
beranggotakan 4 sampai 5 orang untuk efektifitas kelompok dalam belajar. (2)
Setiap anggota kelompok memiliki rasa ketergantungan dalam kelompok,
keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh kekompakan anggota-anggota dalam
kelompok tersebut (3) Diperlukan tanggung jawab masing-masing anggota kelompok,
kesadaran tanggung jawab masing-masing anggota kelompok dalam belajar sangat
mendukung keberhasilan kelompok (4) Terdapat kegiatan komunikasi tatap muka
baik antar anggota kelompok dalam kelompok maupun antar kelompok. Adanya
komunikasi ini dapat mendorong terjadinya interaksi positif, sesama mahasiswa
dapat lebih saling mengenal, masing-masing mahasiswa saling menghargai pendapat
teman, menerima kelebihan dan kekurangan teman apa adanya, menghargai perbedaan
pendapat yang selalu terjadi dalam kehidupan. Mahasiswa saling asah, saling
asih dan saling asuh (5) Anggota-anggota kelompok berlatih untuk mengevalusi
pendapat teman, melalui adu argumentasi, belajar menerima hasil evaluasi dari
teman sesama anggota kelompok, pada akhirnya dapat menumbuhkan rasa toleransi
pendapat dan bergaul dalam hidup bermasyarakat.
Dari ke 5 unsur tersebut di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa lewat perkuliahan kooperatif, di samping
diperoleh pencapaian aspek akademik yang tinggi di kalangan mahasiswa, juga
bermakna dalam membantu dosen dalam mencapai tujuan perkuliahan yang berdimensi
sosial dalam hubungannya dengan sesama.
Tahun Kedua:
Model Peningkatan Kualitas Berdasar Masalah (Improvement Model of Quality of
Based on Problem)
Model peningkatan kualitas dosen ini
bertumpu pada pengembangan kemampuan berpikir di kalangan mahasiswa lewat
latihan penyelesaian masalah, oleh sebab itu mahasiswa dilibatkan dalam proses
maupun perolehan produk penyelesaiannya. Dengan demikian model ini juga akan
mengembangkan mahasiswa keterampilan berpikir lewat fakta empiris maupun
kemampuan berpikir rasional, sehingga latihan yang berulang-ulang ini dapat
membina mahasiswa keterampilan intelektual dan sekaligus dapat mendewasakan
mahasiswa. Mahasiswa berperan sebagai self-regulated learner, artinya lewat
perkuliahan model ini mahasiswa harus dilibatkan dalam pengalaman nyata atau simulasi
sehingga dapat bertindak sebagai seorang ilmuwan atau orang dewasa.
Model ini tentu tidak dirancang agar
dosen memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada mahasiswa, tetapi dosen
perlu berperan sebagai fasilitator perkuliahan dengan upaya memberikan dorongan
agar mahasiswa bersedia melakukan sesuatu dan mengungkapkannya secara verbal.
Tahun
Ketiga: Model Peningkatan Kualitas Langsung (Improvement Model of Quality of
Direct)
Perkuliahan seringkali dianggap
lebih sesuai dengan sifat ilmu yang dipelajari, seperti halnya kelompok mata
pelajaran Basic Science. Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan
ilmiah tersusun secara terstruktur yang memuat materi prasyarat dalam setiap
langkah penyajiannya. Perkuliahan langsung pada umumnya dirancang secara khusus
untuk mengembangkan aktivitas belajar di pihak mahasiswa berkaitan dengan aspek
pengetahuan prosedural serta pengetahuan deklaratif yang terstruktur dengan
baik yang dapat dipelajari selangkah demi selangkah. Fokus utama dari
perkuliahan ini adalah adanya pelatihan-pelatihan yang dapat diterapkan dari
keadaan nyata yang sederhana sampai yang lebih kompleks.
J.
Pelaporan dan Seminar Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini sebelum dijilid
(dilaporkan) akan diseminarkan terlebih dahulu, hal ini penting untuk menambah
keabsahan hasil penelitian.
Daftar Pustaka
Bambang Subali dkk. 2006. Prinsip-Prinsip Monitoring dan Evaluasi Program Lesson Study, Makalah Pelatihan Lesson Study Bagi Guru-Guru Berprestasi dan Pengurus MGMP Se-Indonesia.
---------------. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta. LP3ES.
No comments:
Post a Comment